Aku menatap
bocah enam tahun yang berdiri di depanku. Tubuhnya penuh dengan daki. Aroma tak
sedap merasuki penciumanku. Entah sudah berapa lama tubuhnya yang mungil tak
bersentuhan dengan air dan sabun mandi.
Bola matanya
yang indah memancarkan sebuah semangat. Astaga! Senyumannya manis sekali ketika
dia tersenyum padaku. Sepasang lesung pipi menghiasi wajahnya. Laksana pelangi
yang menghiasai langit hujan.
“Nama kamu
siapa?” tanyaku sambil membalas senyumnya.
“Alexander,”
jawabnya sambil tangannya memainkan ujung bajunya yang memiliki banyak
tambalan.
“Alex, datang
dengan siapa ke sini?”
Diam. Tak ada
jawaban. Pandangannya menyapu lantai kelas yang kosong. Masih belum ada murid
yang datang. Biasanya kalau hujan seperti ini murid-murid datangnya suka agak telat.
Ada sebutir air
mata yang mendadak jatuh membasahi pipinya. Aku menjadi bingung dengan
reaksinya atas pertanyanku.
“Alex, datang
sendiri ya?” tanyaku sambil menggengam tangannya yang dingin.
“Emang kalau
ngga ada mama sama papa ngga boleh sekolah di sini ya, kak?” jawabnya pelan.
Jawaban Alex
menusuk hatiku.
“Siapa pun bisa
belajar di sini. Termasuk kamu,” jawabku lalu mengelus-ngelus kepalanya dengan
lembut.
“Alex ngga punya
papa dan mama. Papa dan mama Alex sudah meninggal. Alex hanya tinggal dengan
nenek.”
Aku
memperhatikan kantong plastik tua yang dibawanya. Merasa, aku penasaran dengan
isi kantong plastik tersebut. Alex langsung mengeluarkan isinya.
Ya Tuhan! Aku
mencoba membendung air mataku tidak jatuh.
Miris. Sesak.
Sedih dan terharu menyatu di dalam dadaku melihat isi kantong plastik yang di
bawanya.
Dengan bangganya
dia memperlihatkanku, beberapa lembar kalender usang yang telah dipotong empat
lalu di lobangi dan diikat dengan tali dijadikan buku. Sebuah pensil yang
sepertinya sudah di serut dengan pisau.
“Buku Alex,
jelek ya kak?” Aku langsung memeluknya.
Suaraku
sepertinya tertahan di tenggorokanku. Aku tak mampu mengatakan apa pun. Air
mataku pun berhasil jatuh. Aku mengagumi semangatnya yang ingin belajar. Sebuah
semangat yang luar biasa di antara keterbatasan yang dimilikinya.
Sewaktu aku
kecil, aku sering merobek bukuku hanya untuk membuat pesawat kertas atau
perahu. Ketika aku duduk di bangku SMP dan SMA, bukuku sering penuh dengan
coretan yang tidak jelas.
*****
Selesai kelas
dan anak-anak lainnya sudah pulang semua. Aku menggantar Alex pulang. Bukan
karena dia tidak bisa pulang sendiri. Tapi aku ingin melihat di mana dia
tinggal.
“Kakak, ini
rumah Alex!” ucapnya dengan penuh kebanggan. Tak ada sedikit pun rasa malu.
Ini bukan rumah
apa lagi gubuk.
Aku
memperhatikan hamparan tikar tua yang menjadi alas. Sekat setinggi lutut orang
dewasa mengelilingi rumah Alex. Tidak ada dinding sama sekali apa lagi atap.
Jalan tol megah menjadi atapnya. Tumpukan kardus menjadi perabot rumah
tersebut. Halamannya penuh dengan tumpukan gelas dan botol bekas air mineral.
“Masuk, kak!
Nenek lagi ngga ada. Masih mulung!”
Tanpa menunggu
perintah untuk kedua kalinya. Aku masuk lalu menghempaskan tubuhku ke lantai.
“Kak, ini airnya
diminum ya,” ucap Alex lalu menyerahkan segelas air putih.
Aku meraih gelas
yang penuh dengan air putih tersebut lalu meminumnya. Terasa aneh di lidahku.
Sepertinya itu adalah air sumur yang telah di rebus.
*****
Dalam kurun dua
minggu Alex sudah bisa mengenal semua abjad dan angka. Prestasi yang tidak
dapat diikuti oleh teman-teman sekelasnya yang lain.
“Wow! Alex
hebat! Sudah bisa mengenal semua huruf,” pujiku setelah kelas selesai.
Dengan malu-malu
dia tersenyum padaku. Detik berikutnya, dia mencari sesuatu di dalam tas yang
pernah aku berikan padanya.
“Alex, mau bisa
baca Alkitab seperti mama dan papa dulu. Makanya Alex mau belajar.”
Wajahku rasanya
seperti tertampar. “Maafkan aku, Tuhan. Pagi ini aku belum sempat membaca
Firman-Mu.” Bisikku dalam hati.
*****
Wajahku
memancarkan kegelisahan. Entah kenapa, aku merasa kuatir ketika Alex belum juga
datang. Tidak seperti biasanya, jam segini dia sudah datang. Selalu dia menjadi
murid yang pertama kali hadir di kelas. Lima menit lagi kelas akan di mulai.
Hingga waktu jam
proses belajar mengajar, Alex tidak datang.
“Sakitkah dia?”
tanyaku dallam hati.
Tak ada satu pun
yang tahu alasan Alex tidak hadir hari ini di kelas.
Selesai kelas,
aku langsung bergegas menuju ke tempat tinggalnya. Sebelum sampai ke rumah
Alex, seorang ibu menyapaku.
“Cari Alex ya,
kak?”
Aku menganggukan
kepala sambil menjawab “Iya, bu!”
“Alex di rumah
sakit, kak! Semalam Alex …….”
Sungguh, aku
tidak mampu mendengar penjelasan ibu tersebut. Seragam dan perlengkapan sekolah
yang aku pegang untuk Alex rasanya ingin lepas dari tanganku.
*****
Rasanya langit
seperti runtuh dan menimpaku ketika melihat keadaan Alex. Tangan kanannya penuh
dengan perban. Alex kecelakaan ketika membantu neneknya memulung dan tangan
kanannya terlindas ban truk sehingga dia harus diamputasi. Dengan bekal
pinjaman sana-sini dan bantuan tetangga serta pengguna jalan raya yang
menyaksikan peristiwa tersebut, akhirnya Alex di bawa ke rumah sakit.
Kantong plastik
yang berisi seragam sekolah, tas dan perlengkapan sekolah terlepas dari
tanganku. Masih terngiang dikepalaku percakapan kami kemaren.
“Kak, Alex mau
masuk SD tapi kata nenek, uangnya belum cukup. Katanya baju seragam sekolah
mahal.
Tapi Alex
percaya kalau Tuhan pasti akan kasih nenek duit biar Alex bisa sekolah.”
“Alex, pasti
sekolah. Percayalah!”
Tangan kanannya
yang buntung dibalut perban. Betapa mirisnya hatiku melihat perban itu. Aku
melihat tubuhnya yang pucat dan menahan rasa sakit diantara selang infus yang
masih terpasang ditubuhnya.
Aku mengumpulkan
semua kekuatanku hanya untuk menyapanya.
“Hallo, Alex?”
Aku duduk di
sisinya. Aku membelai rambutnya.
“Kak, tangan
Alex sakit sekali. Tangan Alex kenapa dipotong? Kan Alex mau nulis?”
Aku mencoba
untuk menahan air mataku untuk tidak jatuh membasahi pipiku. Aku tidak boleh
menangis didepan Alex.
“Alex pasti
sembuh!” kataku mencoba menghiburnya.
“Kalo Alex
sembuh itu artinya tangan Alex tumbuh lagi ya, kak?”
Nenek Alex yang
berdiri dibelakangku memegang erat pundakku. Hanya Tuhan yang tau betapa
perihnya hati ini melihat keadaan Alex.
“Iya, Alex lupa.
Alex bisa menulis pakai tangan kiri. Kalau Tuhan ngga kasih mujizat untuk
numbuhin tangan kanan Alex, tuhan pasti kasih mujizat buat Alex untuk menulis
dengan tangan kiri.” Ucapnya dengan senyuman.
Aku tidak bisa
menahan air mataku untuk tidak jatuh. Aku juga merasakan tetesan air mata nenek
Alex jatuh membasahi bahuku. Aku ngga bisa membayangkan kalau aku mengalami apa
yang dialaminya. Aku mungkin bisa gila! Tapi berbeda dengan Alex. Dia tetap
optimis meski dia sendiri tidak tahu arti optimis itu apa.
“Nanti kakak
akan ajarin kamu menulis ya!”
“Kapan?”
tanyanya.
“Kalau kamu
sembuh nanti.”
“Kakak kenapa
menangis? Aku aja yang kecil ngga nangis.”
Aku cepat-cepat
menghapus air mataku demikian juga neneknya.
“Aku mau nyanyi
untuk kakak, bolehkan?”
Aku hanya
menganggukan kepala lalu mengalunlah sebuah lagu.
KU YAKIN SAAT
KAU BERFIRMAN
KU MENANG SAAT
KAU BERTINDAK
HIDUPKU HANYA
DITENTUKAN
OLEH
PERKATAAN-MU
KU AMAN KAR’NA
KAU MENJAGA
KU KUAT KAR’NA
KAU MENOPANG
HIDUPKU HANYA
DITENTUKAN
OLEH KUASA-MU
BAGI TUHAN TAK
ADA YANG MUSTAHIL
BAGI TUHAN TAK
ADA YANG TAK MUNGKIN
MUJIZAT-NYA
DISEDIAKAN BAGIKU
KU DIANGKAT DAN
DIPULIHKAN-NYA
by Dewa Klasik
Alexander
Copas : salah
satu group FB LI
Sumber: www.lawatan-indonesia.com
Kumpulan Kisah
Nyata:
No comments:
Post a Comment