Dari kesaksian ini,
kita dapat melihat 2 orang gadis yang berumur 11 tahun, yang setia untuk
melayani dan menjadi berkat bagi orang-orang dewasa. Ini berarti bukan karena
umur kita menjadi halangan untuk kita melayani, melainkan apakah kita melayani
dengan sepenuh hati atau tidak.
Dua
Gadis Umur Sebelas Tahun
Sewaktu remaja, saya
senang mendengar lagu yang isinya kira-kira demikian: "Ada dua gadis yang
menarik hati. Cantiknya, cantik kamu. Baiknya, baik dia." Lagu tersebut
mengungkapkan bahwa suatu saat, seorang pria bingung menentukan satu dari dua
gadis.
Di Tiongkok, saya pun
benar-benar bertemu dengan dua gadis. Umurnya sama-sama 11 tahun. Mereka
bukannya membuat saya bingung harus memilih yang mana, melainkan kagum akan
semangat mereka. Saya kagum akan karya Tuhan yang luar biasa sehingga anak umur
11 tahun pun bisa melakukan yang mulia untuk Dia.
Mereka hidup sama-sama
untuk Tuhan. Mereka sama-sama melayani Tuhan dan sungguh menjadi berkat. Yang
sungguh membuat mereka berdua istimewa di mata saya adalah kemurnian hati
mereka dalam melayani Tuhan dan semangat mereka dalam mengembangkan talenta.
Mereka memaksimalkan yang ada pada mereka ketimbang mengeluh tentang yang tidak
ada pada mereka.
Gadis kecil pertama
yang ingin saya ceritakan adalah Elisabeth. Ketika sampai di satu tempat, saya
sedikit terkejut melihatnya begitu terampil dalam mengajar sekolah minggu,
walau usianya masih 11 tahun. Murid-muridnya mulai umur 1 sampai 7 tahun. Ia
sayang sekali pada mereka. Ia terampil dalam menggunakan alat-alat peraga dan
dalam mengajak anak-anak untuk beraktivitas. Yang paling membuat saya terpesona
adalah anak-anak balita senang diajar olehnya.
Wajar bagi anak-anak
balita jika mereka ribut dan tidak bisa duduk tenang dalam mengikuti sekolah
minggu. Elisabeth selalu mencoba mengatasi dengan kreatif, seperti menyuruh
anak-anak yang super aktif untuk membuat gambar di kertas atau papan kecil.
Setelah anak tersebut menggambar, baru ia melanjutkan ceritanya dan anak-anak
bisa duduk tenang walau hanya sebentar.
Kadang ia melakukan
aktivitas menggunting kertas bersama murid-muridnya sambil menceritakan cerita
yang sudah dipersiapkannya.
Tidak ada
"babysitter" yang menunggu anak-anak kecil seperti banyak sekolah
minggu di gereja-gereja Indonesia. Tidak ada juga orang dewasa yang
mendampinginya. Bahkan ia sendiri tidak pernah mengikuti pelatihan guru sekolah
minggu, tetapi ia selalu berusaha mengatasinya dengan baik.
Terkadang saya juga
melihat anak-anak sungguh tidak bisa dikendalikannya, tetapi itu jarang
terjadi. Walaupun anak-anak sukar dikendalikan, itu tidak membuatnya jera dan
putus asa.
Setelah selesai sekolah
minggu, ia akan bertanya kepada mamanya tentang cara mengatasi anak-anak jika
mereka begini atau begitu. Semangat dan kesaksian hidup Elisabeth dan karya
yang dikerjakannya sungguh membuat saya kagum pada Tuhan Yesus.
Bertindak secara kreatif
Tuhan bisa memakai anak
kecil berumur 11 tahun untuk bertindak secara kreatif dan bertanggung jawab
dalam melakukan pelayanan sekolah minggu. Tuhan bisa mencurahkan kemampuan dan
hikmat-Nya bagi orang yang ingin melayani-Nya secara murni, walau Elisabeth
masih tergolong anak-anak.
"Jangan lupa
minggu depan datang lagi dan bawa teman ke sekolah minggu, ya." Demikian ia
melepas anak-anak kepada orang tua mereka dan pulang ke rumah masing-masing.
Gadis kecil kedua
bernama Lidya. Papanya tukang masak di sebuah asrama kecil. Mamanya pembantu
rumah tangga. Saya tinggal di depan rumah mereka. Lidya senang mendengarkan
ketika saya sedang memainkan gitar sambil bernyanyi. Melihat tatapan matanya,
saya mengerti bahwa ia juga ingin bisa memainkan gitar sambil bernyanyi. Saya
ingin membantunya dengan senang hati. Namun, di antara saya dan dia ada jurang
yang dalam -- kendala bahasa.
Waktu itu keluarga saya
baru tiba di Tiongkok dan belum lancar berbahasa Tionghoa. Lydia tidak bisa
berbahasa inggris. Kami berkomunikasi menggunakan bahasa tubuh. Saya tidak tahu
caranya membuat dia benar-benar mengerti. Saya mengungkapkan dengan bahasa
isyarat bahwa agak sukar berkomunikasi dan akan sulit membantunya.
Semangat
untuk belajar
Besoknya, Lidya datang
lagi dengan membawa kamus kecil bahasa Tionghoa-Inggris. Saya tersenyum melihat
semangatnya untuk belajar dan tidak putus asa, walau ada kendala besar dalam
berkomunikasi.
Hari itu pun mulailah
saya mengajar dia dengan menggunakan kamus sebagai alat bantu dalam
berkomunikasi. Ia datang ke rumah kami hampir setiap hari. Setelah belajar
gitar, ia mengajak anak-anak kami main. Saya sungguh senang bisa membantunya
belajar dan karena ada yang mengajak anak-anak kami bermain. Saya mengajar dia
bermain gitar sekaligus saya belajar berbicara bahasa Tionghoa melalui kamus
kecilnya serta berkomunikasi dengan dia.
Setelah beberapa saat
membantunya belajar gitar, kami sekeluarga sepakat untuk membelikannya sebuah
gitar karena setelah itu saya harus mulai belajar bahasa dan kebudayaan di
Universitas Hunan. Sedangkan ia harus masuk sekolah lagi. Ia bisa berlatih
gitar sendiri di rumahnya.
Empat bulan kemudian,
tepatnya pada acara Natal, saya terkejut sekaligus bangga melihat Lidya
memainkan gitarnya dan mengiringi puji-pujian Natal.
Saat itu, ia juga
mengajak papa dan mamanya untuk bernyanyi bersama memuji dan menyembah Tuhan.
Ini sungguh menjadi berkat bagi para jemaat yang hadir. Saya terkejut karena
dia belajar gitar dalam waktu singkat -- 1 bulan!
Saya bangga karena
walaupun keterampilan bermain gitarnya sangat terbatas, ia memunyai tekad untuk
memainkan gitar dan mengiringi acara Natal tersebut.
Setelah acara selesai,
ada sedikit minuman dan kue. Lidya dengan inisiatif yang baik menyuguhkan kue
dan minuman bagi jemaat yang hadir. Lidya seperti orang dewasa yang sungguh
menjadi bagian dalam pelayanan Tuhan. Setelah semua jemaat makan dan minum, baru
ia mengambil bagiannya.
"Baca ya
...." Demikian ia berkata sambil membagikan traktat kepada jemaat yang
hadir. Mereka pun menerimanya, lalu pulang ke rumah masing-masing.
Elisabeth dan Lidya,
dua gadis umur 11 tahun yang sungguh memberkati kami sekeluarga dan memotivasi
semangat kami untuk tidak mudah putus asa bekerja bagi Tuhan di Tiongkok.
Kendati rintangan dan
kesulitan hidup membentang, Elisabeth dan Lidya adalah pelayan Tuhan yang
sejati. Pelayan Tuhan yang melayani bukan demi kepopuleran, uang, dan
kekuasaan.
Pelayan Tuhan sejati
memberikan diri untuk melayani, terus belajar, dan berlatih. Pelayan Tuhan
sejati memaksimalkan semua yang ada padanya sambil mengucap syukur, bukannya
mengeluhkan tentang yang tidak ada padanya.
Pelayan Tuhan sejati sanggup
melihat dan memahami kebutuhan orang-orang yang dilayani. Syarat-syarat pelayan
Tuhan sejati yang seperti itu sungguh ditampilkan oleh dua gadis kecil yang
baru berumur 11 tahun tersebut.
Panggilan hidup yang
mulia bagi setiap orang percaya adalah melayani. Melayani sesuai dengan segala
talenta dan karunia yang Tuhan sudah berikan kepada setiap orang yang mengasihi
Dia. Melayani dengan motivasi yang suci dan murni serta dengan dengan mengucap
syukur.
Dua gadis umur 11 tahun
tersebut sungguh dipakai Tuhan untuk mengingatkan saya untuk menjadi pelayan
Tuhan sejati. Bagaimana dengan Anda?
Sumber: Buku Sejuta
Sehari/sabda.org
Kumpulan Kisah Nyata:
Kerajaan setan "Kesaksian Seorang Pemuja Setan"
No comments:
Post a Comment