Kesaksian,
kecelakaan yang terjadi didepan mataku dan yang mengalaminya adalah suamiku. Mobil yang menabrak suamiku
dan dia terlindas oleh ban mobil membuat dia patah tulang rusuk. Kejadian ini
membuat saya belajar beriman, untuk kesembuhan suamiku. Dari kesaksian ini kita
dapat belajar bahwa, ada hal-hal yang Tuhan ijinkan itu terjadi, untuk membuat
orang-orang yang kita sayangi itu bertobat. Kadang-kadang hal itu sangat
menakutkan bagi kita karena itu antara hidup dan mati. Jawabannya apakah kita
mau bersesarah dan percaya atau tidak.
Berjalan
dengan suami di trotoar
Pukul 05.15 WIB, 6
November 1999, saya (Yeyen), suami saya (Achin), dan anak bungsu kami
(Vincent), hendak ke Gambir. Waktu itu kami berencana bertemu ibu saya di
Bandung sebab ia sakit kanker payudara dan akan dibawa ke sinshe. Baru saja
kami keluar dari gang, tepatnya di jalan arteri Palmerah, Jakarta Barat, sebuah
mobil boks dari arah belakang tiba-tiba menyambar tubuh saya. Saya pun terjatuh
ke arah trotoar dan kaki saya terlindas ban mobil.
"Minggir!"
saya berteriak mencoba mengingatkan suami saya yang berjalan di depan. Namun
karena kurang cepat bergerak, bress...! mobil yang sama menghantam muka suami
saya sampai dia terjatuh. Sungguh mengerikan, suami saya jatuh ke arah jalan
sehingga badannya masuk di bawah kolong mobil dan, kress...!, ban belakang
mobil itu menggilas tubuhnya. Saya melihat dengan mata kepala sendiri ketika
ban mobil itu menggilas dadanya dan menyeretnya sejauh kurang lebih 1 meter.
Melihat kondisinya yang sangat parah, membuat saya lupa pada sakit saya
sendiri. Spontan saya berteriak, "Tuhan Yesus, tolong! Tuhan Yesus,
tolong!"
Mobil langsung lari
tidak terkejar lagi. Saya hanya bisa jongkok di pinggir jalan sambil memangku
suami. Karena lukanya sangat parah, tiba-tiba terlintas di benak saya,
jangan-jangan suami saya umurnya tidak akan lama lagi. Karena pemikiran ini,
saya seolah dituntun untuk mengatakan padanya demikian, "Kamu harus
bertobat, minta ampun." Kata-kata ini saya sampaikan karena saya tahu,
meski suami saya sudah Kristen dan dibaptis setelah 14 tahun kami menikah,
namun ia jarang sekali ke gereja. Kalau saya ajak ke gereja, ia biasanya
marah-marah bahkan mengajak bertengkar. "Pokoknya kamu harus minta ampun,"
kata saya berulang-ulang.
Tidak lama kemudian,
taksi datang. Saya menyuruh anak saya, Vincent, untuk pulang. Di dalam taksi,
kami ditemani oleh seorang tetangga. Sepanjang perjalanan, saya hanya bisa
bernyanyi dan berdoa. Selain itu, saya terus meminta suami saya untuk bertobat,
minta ampun pada Tuhan. Mendengar anjuran saya, ia memberikan respons. Dia
berkata lirih, "Tuhan Yesus, ampuni saya." Saya pun menimpali,
"Jangan berhenti panggil nama Yesus. Bilang, `Darah Yesus tolong saya!`"
"Darah Yesus, darah
Yesus, darah Yesus," kata-kata ini diulang-ulang suami saya hingga kami
tiba di RS Pertamina.
Tiba
di Rumah Sakit
Tiba di rumah sakit,
suami saya langsung masuk ruang Unit Gawat Darurat (UGD). Ia langsung ditangani
secara cepat. Kurang lebih 15 menit kemudian, hasilnya sudah dapat diketahui.
Benar dugaan saya, kondisi suami saya memang betul-betul parah. Tulang rusuk
bagian depan dan belakang, hampir semuanya patah. Dokter mengatakan,
"Secara teori, seharusnya sulit untuk bertahan. Tidak ada kesempatan lagi."
Kalau sebelumnya pada sepanjang perjalanan saya berdoa dan menyanyi, dan bisa
menahan untuk tidak menangis, kini setelah tiba di rumah sakit, lebih-lebih
setelah tahu hasil rontgen suami, air mata saya keluar dengan derasnya.
"Tuhan, saya tidak kuat," bisik saya sambil menghubungi pendeta saya,
Bapak Mulyadi Sulaeman. Pada saat saya mengatakan "tidak kuat",
tiba-tiba ada suara yang berbisik, "Tuhan
tidak akan mengujimu melebihi kekuatanmu." Saya pun berkata, "Tuhan
kuatkan saya. Amin." Ketika selesai mengatakan hal itu, saya langsung
mendapatkan kekuatan baru. Saya pun menjadi tegar.
Tidak berapa lama Pak
Mulyadi datang. Kepada beliau saya berkata, "Om, tolong dijaga ya, saya
sudah tidak tahan." Luka suami saya memang sangat parah. Celana jean yang
ia pakai saat terjadi kecelakaan robek. Karenanya, wajar saja kalau kakinya
penuh luka dan di pahanya ada luka yang sangat besar. Untuk mengeluarkan darah
akibat paru-paru yang mengalami pendarahan, dada suami saya dilobangi. Pak
Mulyadi sendiri, mungkin karena melihat harapan untuk hidup begitu kecil,
dengan lirih ia menasihati, "Kamu yang sabar saja ya, Yen. Kalau Tuhan
memanggil suamimu, kamu harus kuat." Saya mengangguk. Saya bisa memahami
ucapannya karena memang menurut kalkulasi manusia, kemungkinan yang terbesar
adalah kematian. "Om, saya pasrah. Saya rela suami saya dipanggil sekarang
dari pada menunggu nanti tapi belum bertobat. Kalau Tuhan mau panggil,
panggillah," demikian jawaban saya penuh kepasrahan.
Kondisi
suami kritis
Kondisi suami saya betul-betul
kritis. Paru-parunya tidak bisa bekerja dengan baik alias tidak bisa mengembang
sehingga pernafasannya diatur oleh mesin. Mulutnya sudah tidak bisa berfungsi.
Makanan dimasukkan lewat infus melalui satu lubang hidung, sementara lubang
yang satunya untuk nafas. Leher juga dilubangi untuk "CPP", yang
dipakai untuk mengontrol suhu tubuh. Melihat keadaannya yang seperti ini, pada
hari ketiga dokter kembali berkata, "Ibu berdoa saja. Yang bisa menolong
suami Ibu hanya imannya sendiri." Saya tahu kalau dokter sudah berkata
begitu berarti harapan secaramedis sudah tidak ada. Karena berdiri di dekat
tempat tidur, suami saya dapat mendengar apa yang dikatakan sang dokter. Saya
pun kembali menegaskan kata-kata dokter. Kata saya, "Kamu tidak usah
khawatir. Seperti dikatakan pak dokter tadi, yang bisa menolong kamu itu hanya
imanmu. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Tuhan itu baik, kamu sekarang
sebenarnya sedang ditegur Tuhan. Sekarang kamu bersyukur saja. Ampuni orang
yang menabrak kamu."
Saya betul-betul heran
dengan kata-kata saya sendiri, terutama seruan untuk mengampuni sopir yang
telah menabraknya. Saya yakin hikmat itu datangnya dari Roh Kudus. "Sudah
jangan ingat-ingat lagi. Kamu jangan marah. Saat kamu mengampuni orang yang
menabrak, Tuhan Yesus pasti mengampuni kamu. Ketika dosa kita diampuni, maka
apa yang kamu minta pasti Tuhan dengar, sebab penghalang doa kita menurut
firman Tuhan tak lain adalah dosa kita," tegas saya lagi. Sejujurnya,
antara iman saya dan kenyataan waktu itu bertentangan, tapi saya harus belajar
beriman. Di ruang ICU saya tetap berdoa, menyanyi, dan membacakan Alkitab untuk
suami saya. Kalau saya sedang menyanyi seluruh ruangan bisa mendengar. Mereka
memandangi saya. Mungkin mereka membatin, "Bagaimana mungkin suaminya sakit
parah ia masih bisa menyanyi?"
Hari terus bergulir.
Setiap kali dokter jaga datang, saya selalu menanyakan kondisi suami saya.
Jawaban dokter selalu sama, "Tetap saja, belum juga membaik." Suatu
kali, saat saya mengajukan pertanyaan yang sama, jawaban dokter demikian,
"Tunggu besok, ya. Kalau besok tidak panas berarti mendingan, tapi kalau
panas itu artinya berbahaya." Esoknya suhu badan suami benar-benar panas
hingga 40 derajat. Suster di belakang saya saling berbisik, "Wah, tidak
mungkin hidup." Tapi suami saya dapat melewati masa kritis itu dan panas
itu akhirnya turun. Saya terus berdoa. Mata saya benar-benar hanya tertuju pada
Tuhan Yesus.
Hari keenam, pukul
09.00 WIB, keadaan suami kritis lagi. Suami saya pingsan. Untuk menyadarkannya
ia harus ditepuk-tepuk bergantian oleh para suster. Saya segera dipanggil oleh
dokter. Katanya, "Keadaan Bapak...." Namun, sebelum dokter itu
meneruskan kata-katanya, saya langsung memotongnya, "Entahlah Dok, saya
tidak mau mendengarkan apa yang Dokter katakan. Jika Dokter ingin mengatakan
sesuatu, katakan saja kepada pendeta saya." Dokter itu diam dan saya
segera keluar menelepon pak pendeta. Saat itu saya sendirian. Pekerja gereja
yang setiap malam menemani saya pagi itu sudah pulang. Setelah menunggu agak lama,
pak pendeta akhirnya datang. Saya tetap di luar karena takut. Ketika pak
pendeta masuk ia mendapati pengukur detak jantung suami saya sempat lurus.
Namun, 2 jam kemudian bergerak lagi dan kembali pada posisi semula. Kira-kira
pukul 11.00 WIB, karena desakan pak pendeta, saya pun mau masuk ke kamar rawat
suami saya. "Ko, ko, ko," begitu saya memanggil suami dan ia
menyahut. Karena sudah sadar saya tidak takut lagi. Sekali lagi ia selamat.
Cahaya
Terang Masuk ke Kamar ICU
Malam hari setelah
peristiwa yang menegangkan itu, anak saya yang pertama, Michael, datang bersama
2 orang temannya. Mereka bukan orang Kristen. Kami di tempat itu berenam --
Michael dengan 2 orang temannya, saya, seorang pekerja gereja, dan seorang
teman saya. Kira-kira pukul 22.00 WIB kami berdoa bersama di lift. Karena saya
ingin menghormati teman Michael yang bukan Kristen, saya bilang, "Kita
berdoa dalam hati saja, berdoa menurut kepercayaan masing-masing." Selesai
berdoa, teman Michael yang bukan Kristen mengatakan, "Michael, waktu kita
berdoa, saya melihat ada cahaya terang sekali masuk ke kamar ICU."
"Ma, Agung bilang,
waktu berdoa ia melihat sinar masuk ke kamar ICU," kata Michael sembari
menyebut nama temannya.
"Lho, kamu sedang
menutup mata, bagaimana bisa lihat?" tanya saya.
"Ya, waktu menutup
mata itulah saya melihatnya,"jawab Agung mantap.
"Saat melihat
cahaya itu, apa yang kamu rasakan?" pertanyaan ini saya ajukan sebab di
kamar ICU memang sering terjadi peristiwa aneh-aneh. Saya khawatir cahaya itu
bukan dari Tuhan tapi dari setan.
"Perasaan saya
damai," jawab Agung. Mendengar cerita dan jawaban Agung, saya langsung
mengimani bahwa Tuhan sedang melawat suami saya. Melihat buahnya saya yakin
sinar itu merupakan manifestasi Roh Kudus. Saya percaya, kalau ada lawatan Allah
pasti sesuatu akan terjadi. Dari kesaksian Agung itu, iman saya kembali
dibangkitkan, saya yakin suami saya pasti sembuh. "Terima kasih
Tuhan," ujar saya penuh syukur.
Hari berikutnya, saya
bertanya pada dokter ahli paru-paru dan mendapat jawaban menggembirakan,
"Sudah ada sedikit perbaikan." "Terima kasih dokter, puji
Tuhan!" ujar saya spontan, pokoknya saya terus imani dari hal yang kecil
pasti akan terjadi hal yang besar. "Jangan berterima kasih pada saya,
berterimakasihlah pada Tuhan," jawab dokter itu. Tadinya saya tidak tahu,
ternyata dokter itu memang saudara seiman. Keadaan ini terus membaik. Setelah
dirawat di ICU selama 5 minggu, suami saya dipindahkan ke ruang perawatan
biasa. Keadaan di ICU sungguh berkesan. Kehadiran saya paling tidak telah membuat
orang-orang yang tegang sedikit merasa terhibur. Saya percaya ketika kita
menyembah Tuhan lewat nyanyian, hadirat Allah ada di ruangan itu. Hal inilah
yang mungkin membuat suasana di ICU menjadi hidup dan lebih nyaman.
Sampai-sampai kalau saya tidak bernyanyi, saudara yang tak seiman pun bahkan
sering bilang, "Ayo nyanyi, dong. Kalau kamu tidak nyanyi sepi, lho!"
Ada juga yang mengatakan, "Suaramu merdu lho." Wah heran juga saya,
sebab seumur-umur baru kali ini suara saya dipuji.
Di ruang perawatan biasa,
kesehatan suami saya semakin cepat pulih. Di ruang ini suami hanya dirawat
selama 2 minggu dan herannya setelah dirontgen, tulang-tulang rusuknya yang
patah dinyatakan telah tersambung kembali! Tanggal 30 Desember 1999, suami saya
keluar dari rumah sakit. Waktu pulang suami saya sudah normal. Ia sudah dapat
berjalan dan tidak memakai alat bantu apa pun. Ia juga tidak pantang makan.
Tanggal 31 Desember 1999, suami saya sudah ke gereja. Akhir 1999, sungguh
menjadi saat yang manis bagi keluarga kami, sebab tidak saja pada tahun itu
suami saya mengalami mukjizat kesembuhan, tapi kerinduan saya dan anak-anak
untuk pergi ke gereja bersama ayahnya sudah dijawab Tuhan. Sumber: sabda.com
Catatan
Ada hal-hal yang kita
tidak inginkan itu terjadi tetapi bagi Tuhan itu yang terbaik.
Kumpulan
Kisah Nyata:
No comments:
Post a Comment