Mondok, nyantri
Saifuddin
Ibrahim, nama yang diberikan orang tua saya. Nama kecil : One Pela atau One
Prado. Ayah guru agama. Belajar mengaji dari ibu dan nenek. Dari keduanyalah
saya memahami betapa jauhnya pemahaman ajaran Qur’an dan Alkitab terutama dalam
hal sejarah. Saya menyelesaikan SMA di BIMA. Puji Tuhan saya mendapat beasiswa
kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta dan mengikuti pendidikan agama di
pondok Hajjah Nuriyah Shabran Surakarta. Fakultas Ushuluddin jurusan
perbandingan agama. Setelah kuliah, saya mengajar di Bangsri Jepara, 1996 dan
mengajar di Pesantren Darul Arqom Sawangan Depok Jabar.
Kesaksian ini
saya bukukan karena alasan bahwa iman tidak bisa disembunyikan. Iman harus
dinyatakan dalam bentuk amal dan ilmu. Alasan kedua bahwa manusia tidak boleh
membangkitkan sentimen agama untuk membenci sesama manusia. Ketiga bahwa
Alkitab adalah warisan zaman yang lengkap dengan falsafah hidup toleransi dan
damai dan solutif bagi semua persoalan manusia.
Tahun 1999 saya
mengajar di Haurgeulis Indramayu, pesantren terbesar di Indonesia. Luasnya 1200
hektar. Sarana pembelajaran lengkap. Di tengah-tengah kampus berdiri masjid
raksasa tujuh lantai dengan kapasitas 150,000 jemaah. Ruang bawah tanah dapat
menampung 1000 mobil parkir. Lahan yang 1000 untuk pertanian dan peternakan.
Dari hasil pertanian, pesantren ini sudah mampu memenuhi 50% keperluan beras,
buah dan sayuran. Peternakan, pertanian, perikanan semua maju pesat. Ketika
saya keluar dari pesantren, ada 1500 kepala sapi dari berbagai jenis, 2000
kepala domba, 1500 kambing peranakan Etawa. Dan telah mampu melakukan konversi
lahan tandus menjadi ekosistem yang sejuk. Seluruh yang dihajatkan oleh
penghuni modern telah siap, ada laundry, kitchen set, toserba, pos giro bahkan
bank. Sehari-hari ada 11000 siswa, 2500 karyawan dan 800 guru. Saya adalah
dewan guru 12, kepala Humas dan editor majalah AL Zaytun. Setiap hari yayasan
harus memasak beras 5 ton, tempe 1 ton, tahu 1 ton buah-buahan 4 ton, sayur 4
ton. Pekerjaan apapun dilakukan sendiri oleh yayasan.
Selama 6 tahun
saya mengajar Alqur’an, hadits, Aqidah, Akhlak, sejarah kebudayaan Islam dan
Jurnalistik. Mengajar di sana harus serba bisa, memiliki banyak kemampuan dasar
dalam bidang olahraga, seni, keterampilan atau apa saja. Karena seorang guru
harus tampil prima, fit, dan smart. Dari pesantren inilah sejarah awal saya
mengenal Tuhan.
BAB II
The Gideons
Akhir November
2005, saya menerima tamu dari The Gideons International Camp Jakarta dan Camp
Cirebon, sebuah organisasi dunia yang membagi-bagikan Alkitab secara cuma-cuma,
dan pesantren kami mendapat hadiah 1400 Alkitab. Perkenalan inilah yang menjadi
jembatan saya mngenal Tuhan. Saya mengajak mereka keliling kompleks, masuk ke
seluruh fasilitas dan terakhir minta kepada ketua rombongan berdoa di masjid.
Setelah mereka puas keliling, mereka diwawancarai oleh wartawan dan dimuat
dalam majalah kami. Kemudian saya kirimkan bukti berita kepada mereka. Saat itu
belum terjadi apa-apa pada hati saya. Mereka pulang, kami antar sampai mobil
mereka hingga hilang dari pandangan mata kami.
“Nubuat Pimpinan”
Goncangan
terjadi ketika saya diundang natalan bersama di Cirebon. Hari itu mestinya saya
hadir dalam acara lain, tapi pimpinan mengganti ketua rombongan menjadi orang
lain, padahal sudah dibuat surat tugas bahwa saya adalah ketua rombongan. Jam
12 malam surat tugas dibatalkan. Akhirnya hari itu saya tugas seperti biasa
(tidak jadi pergi), mengawal tamu yang berkunjung ke pesantren kami. Jam 7
malam saya laporkan tugas kepada pimpinan. Usai melapor, saya masih diajak
ngobrol, tiba-tiba kepala perkhidmatan kesehatan angkat bicara “Katanya ustadz
Saifuddin Ibrahim yang hadir natalan bersama di Cirebon?” Langsung pimpinan
yang menyeloroh, “Kalau ustadz Saiffudin Ibrahim yang diutus ke acara natalan,
bisa-bisa nanti pulang jadi pendeta Abraham.” Semua yang mendengar tertawa.
Hari itu tanggal
16 Januari 2006 pimpinan tertinggi pesantren terbesar di Asia tempat saya
mengabdi, membatalkan surat tugas untuk saya. Ada perasaan masygul, saya yang
diundang, malah orang lain yang diutus. Tetapi saya menghibur diri bahwa
dibalik itu pasti ada hikmah besar, ada rencana besar dari Tuhan. Beliau telah
bernubuat untuk saya. Itu juga sebabnya kenapa saya (sekarang) lebih suka
dipanggil Abraham. “Nubuat” tersebut ternyata benar-benar terjadi. Enak untuk
saya, tidak enak untuk pimpinan saya. Sejak nubuat itu diucapkan, ada percikan
api dalam hati saya dan ini adalah api iman yang memudahkan saya melakukan
hijrah hati. Api kecil itu berkobar, dan terus membesar. Api kalau kecil jadi
teman, besar menjadi musuh dan memusnahkan harta kita. Andai itu api biasa
mungkin saya bisa memadamkannya tetapi ini api iman, jadi susah dipadamkan.
Saya tidak sanggup untuk memadamkan api iman ini. Sejak “ucapan” pimpinan saya,
ada suatu perasaan yang aneh terjadi dalam hati, perasaan yang berkobar-kobar,
bahwa saya harus menjadi orang kristen. Tapi bagaimana caranya? Saya tidak
tahu. Apakah saya akan datang ke gereja-gereja lalu menyatakan masuk Kristen?
Wah gengsi! Saya adalah guru sebuah pesantren tiba-tiba masuk Kristen, itu
sebuah ironi dan tidak masuk akal. Dan belum tentu juga mereka berani menerima
saya. Kalau saya ke gereja, orang-orang kristen pasti takut karena ada 3 wanita
Haurgeulis yang dijatuhi hukuman penjara 3 tahun di Indramayu sebab mengajarkan
lagu-lagu gereja kepada anak balita lalu dituduh sebagai penista agama. Padahal
desa itu dulu mayoritas kristen, tapi karena sulit ekonomi mereka pindah agama.
Sebenarnya,
perasaan gundah ini sudah mulai terjadi sejak akhir thaun 2005. Saya merasa
jenuh, tawar dan hampa. Dalam suasana seperti itu saya mulai dihinggapi
perasaan takut akan dosa, takut mati, tapi ingin selamat. Saya seperti hidup
tanpa harapan lagi. Saya jatuh ke dalam sumur tanpa dasar. Tak tahu entah kapan
berkesudahan. Saya optimis suatu saat akan ada suasana puncak dari kehidupan
rohani saya, tapi tawar hati dan kekosongan jiwa terus menekan hari-hari yang
saya lewati.
Tuhan menarik
saya untuk mendekatiNya, sudah dua bulan saya tidak mengajar. Kalau ada teman
datang, saya suruh istri saya untuk bilang saya tidak ada padahal saya sembunyi
di kamar. “Itu motornya ada!”, kata mereka. “Iya tapi abi Ibrahim gak ada”,
kata istriku berbohong.
Februari 2006
saya telepon pak Bagdja, saya mau bilang kalau saya mau masuk Kristen.
“Halo pak, ini
saya ustad Saifuddin Ibrahim, masih ingat saya?”
“Masih!”,
jawabnya.
Setelah
basa-basi, saya bilang saya ingin bertemu.
“Kapan bisa
ketemu?”
Lalu jawab
beliau, “Kapan saja boleh.”
Mendengar
jawaban bersahabat seperti itu saya semakin bersemangat. Saya bilang “Besok!”
Sore hari saya sampai di Cirebon, sudah disiapkan kamar hotel. Tapi sampai jam
10 malam saya tidak bisa bilang pada pak Bagdja kalau saya mau masuk kristen.
Pak Bagdja pulang ke rumahnya. Saya sendirian di hotel dan berjanji dalam hati,
besok saya akan katakan saya mau masuk Kristen.
Pagi-pagi pak
Bagdja mengajak saya makan nasi Jamblang di pelabuhan. Saya tetap tidak bisa
mengutarakan tujuan saya ke Cirebon. Sampai makan siang, check-out dari hotel,
saya tetap tidak bisa mengatakan keinginan saya. Sampai diantar ke stasiun
kereta saya tetap tidak bisa bilang apa-apa. Saya naik kereta api Cirebon
Express seharusnya turun di Indramayu tetapi bablas ke Jakarta. Kereta berhenti
di Gambir. Saya turun. Kacau balau!! Kacau semua rencana saya! Saya telepon
teman-teman saya.
Puji Tuhan ada
yang nyambung. “Kebetulan!” katanya, “Saya sdg mencari Anda untuk jadi
pembicara dalam seminar membela orgnisasi-organisasi Islam yang sedang dihujat
oleh sebuah majelis orang-orang pintar.” Kantor Ahmadiyah di Parung dihancurkan
oleh kaum anarkis berjubah. Pengikut-pengikutnya dianiaya di Lombok. Usaha
mereka dijungkirbalikan, harta dirampas bahkan sampai ada yang minta suaka
keluar negeri.
Akhirnya saya ke
seminar tersebut. Dalam seminar itu saya katakan pada peserta seminar, bahwa
tidak ada satu ayat sucipun yang menyatakan bahwa golongan A, B, C sesat.
Mereka tepuk tangan, sebelum saya turun mimbar saya membuat pernyataan bahwa
sorga bukan milik siapapun. Sorga bukan milik orang Islam, Kristen atau yang
lain tapi sorga adalah milik orang yang membangun dunia ini dengan toleransi
dan damai. Semua yang hadir tepuk tangan. Begitu turun dari mimbar, seorang
hamba Tuhan menyalami saya sambil berkata, “Saya merinding mendengar pernyataan
bapak, saya belum pernah mendengar dari orang Islam bahwa sorga milik semua
orang, yaitu orang yang hidup dalam toleransi dan damai.” Saya berkata dalam
hati, kamu boleh saja merinding, kamu belum tahu kalau saya sedang kacau balau.
Kembali ke
masalah pak Bagja. Karena berbicara langsung tidak bisa, menelepon lidahku
kelu, akhirnya sms pun menjadi media yang mampu menjembatani rasa malu hatiku.
Saya segera sms pak Bagdja, “Pak, sebenarnya saya bertemu dengan bapak kemarin,
saya mau mengatakan kepada bapak, saya mau masuk Kristen.”
Begitu pak
Bagdja menerima sms, malah dia yang kacau balau. Bingung. Sms saya
dikirimkannya ke teman-temannya, dikirim juga ke presiden Gideon Indonesia, pak
Ridwan Naftali. Tapi ada juga teman beliau yang memperingatkan agar waspada,
jangan-jangan saya adalah penyusup. Tapi pak Bagdja berdoa untuk menenangkan
hatinya.
Semenjak itu,
konsentrasi kerja saya mulai terganggu, tetapi saya tetap mencoba terlihat
ceria seperti biasa. Bahkan saya paling enjoy di antara 12 dewan guru. Pernah
suatu kali teman-teman tertawa keras mendengar cerita saya tentang Abu Nawas.
“Sini kamu Abu
Nawas”, kata raja. “Siap tuanku raja”, jawab Abu Nawas.
“Bunuh ayam
ini”, kata raja. “Oh itu pekerjaan gampang tuan”, sahut Abu Nawas.
“Tapi ingat Abu
Nawas, bagaimana kamu membunuh ayam ini, begitu pula aku akan membunuhmu. Kalau
kamu potong lehernya, saya potong leher kamu. Kalau kamu tusuk perutnya, saya
tusuk perut kamu. Kalau kamu racun ayam ini, kamu juga akan saya racun.” “Wah
gawat ini!”, kata Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berpikir sejenak, ia membawa
ayam tersebut ke belakang untuk membunuhnya. Sesaat kemudian Abu Nawas kembali
dengan ayam yang sudah mati lemas kepada raja. Raja memeriksa ayam tersebut,
tidak ada bekas dipotong, diracun ataupun ditusuk. Heranlah sang raja dan
bertanya pada Abu Nawas, “Bagaimana kamu membunuh ayam ini?” Sambil membuka
celana dan membelakangi raja, Abu Nawas memperlihatkan pantatnya sembari
berkata, “Tuanku, saya meniup pantat ayam ini selama beberapa menit. Maka
matilah ayam ini. Silahkan tuanku tiup pantat saya.” Raja terdiam. Sunyi. Hari
itu Abu Nawas mendapat hadiah dari sang raja karena kecerdikannya. Akibat
guyonan saya , Nawawi ketua dewan guru menghukum saya tidak mengajar selama 2
hari. Mungkin karena dianggap terlalu jorok.
“MASUK KRISTEN??”
Saya bagaikan
kapal yang mati mesin, diombang-ambingkan gelombang. Mengajar tidak
konsentrasi, ditegur atasan, tetapi saya tetap tidak pernah cerita kepada
siapapun termasuk pada istri saya.
Ada kerinduan
membara dalam hati, bahwa saya harus masuk Kristen.
Masuk KRISTEN?
Sanggahku dalam hati. Mana boleh saya masuk Kristen!!
Di pesantren
saya adalah dewan guru paling dikenal oleh santri dan wali santri, akrab dengan
karyawan. Dikenal baik oleh masyarakat Haurgeulis – Indramayu dan para
tamu-tamu yang sering berkunjung. Kristen adalah keyakinan yang paling saya
takuti, karena itu saya serang dan lawan! Saya adalah kader Muhammadiyah pusat,
dididik dalam disiplin ketat, dibeasiswai oleh organisasi besar di Indonesia.
Paman saya adalah pendiri Muhammadiyah di Bima, mertua saya tokoh di Jepara.
Saya malu.
Saat masih
kuliah saya berhasil mengislamkan 15 orang Kristen melalui dakwah2 di desa-desa
Soli, Wono Giri, Sukoharjo, Klaten. Bahkan seorang pendeta pun pernah saya
islamkan.
Sekali lagi,
masuk Kristen?? Ah mana boleh saya masuk Kristen. Sebagai guru, saya tidak
boleh bertentangan dengan apa yang sudah saya ajarkan kepada murid-murid saya.
Untuk menenangkan hati, saya mencoba membaca Alquran dengan harapan tidak
sampai masuk Kristen. “Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu.
KepadaKu tempat kembalimu yang terakhir dan apabila mereka memaksa engkau untuk
musyrik kepadaKu dan kamu tidak ada pengetahuan tentang itu, janganlah engkau
taat kepada mereka, dan tetaplah bergaul dengan mereka di dunia dengan baik dan
ikutlah jalan orang yang kembali kepadaKu.” Qs 31:14-15. Pikir saya, ayat ini
akan semakin menguatkan iman Islam saya. Tetapi ternyata malah semakin membuat
saya bimbang dan ingin bertekun dalam TUHAN. Saya berdoa, “Tuhan,
beritahukanlah jalan-jalanmu. Bawalah aku berjalan dalam kebenaranMu. Sebab
Engkaulah Tuhan yang menyelamatkan aku. Tunjukkanlah aku jalan yang lurus,
yaitu jalan orang-orang yg telah engkau beri nikmat atas mereka. Bukan jalan yang
Engkau murkai dan bukan pula jalan yang sesat.”
Semakin saya
merenung pada keyakinan lama saya, semakin tersingkap bahwa jalan yang sudah
saya tempuh dulu membingungkan. Saya tidak mau seprti Amrozi, Imam Samudra,
atau Nurdin M Top.
Sesungguhnya Isa
benar-benar mengetahui hari kiamat, maka janganlah kamu ragu tentang kiamat.
Ikutlah aku (Isa), inilah jalan yang lurus, Qs 43:61. Semakin tegap langkah
saya mengikuti shirotal mustaqim yaitu Yesus Kristus. Dialah Jalan, Kebenaran,
dan Hidup!
Saya menemukan
kebenaran ajaran Kristen ini sama sekali bukan karena kepandaian atau
kecerdasan mempelajari Alkitab dulu. Juga bukan karena ceramah
pendeta/penginjil. Tapi ini semua adalah karya Roh Kudus. Sejak kuliah saya
rajin baca Alkitab. Tiap minggu pagi saya dan Syamsul Hidayat ikut teologi yang
diasuh oleh Kiai Arkanuddin Solo. Namun bukan untuk mencari kebenarannya
melainkan untuk mencari ayat-ayat yang dapat menunjang pendirian saya sebagai
mubaligh muda yang melawan derasnya arus iman orang Kristen dan menyerang
mereka. Saya menulis “Jilbab dalam Injil” yang dimuat dalam majalah Panji
Masyarakat. Saya juga menulis “Puasa menurut Agama-Agama Besar di Dunia”,
“Sholat menurut Quran dan Alkitab”, “Kasih menurut Islam dan Kristen”. Rupanya
saya selama ini terlalu keras hati memalingkan wajah dari FirmanNya. Roh kudus
masuk kerelung hati saya sehingga tanpa disadari mengubah paradigma saya
tentang kekristenan dan orang-orang kristen.
Saya membaca
riwayat tokoh-tokoh Kristen yang menjadi muslim seperti Leopold Weiss, Ismail
Alfaruqi, Roger Graudy, Mariam Jamilah termasuk Maurice Buccaille yang
mengarang buku “Bible, Quran dan Sains Modern”. Saya sangat menghargai mereka,
tetapi itu semua tidak menyurutkan semangat saya masuk Kristen. Saya tau bahwa
mereka pindah agama karena ketidakpuasan terhadap praktek keagamaan,
lingkungan, keluarga, dan gereja. Tetapi saya tahu persis diri saya, dan saya
masuk Kristen bukan karena kekuatan saya melainkan kasih karunia Tuhan. Saya
menjadi Kristen bukan karena saya tidak tahu agama.
Saya juga
bertemu secara pribadi dengan orang-orang yg sudah masuk islam. Semua
mengagumkan, tetapi panggilan yang ajaib mengalahkan semuanya. Bahkan saat saya
mempersiapkan buku ini, ada murid saya yang menangisi saya setelah tahu saya
manjadi Kristen.
“Abi gila”,
tulisnya dalam sms.
“Saya minta maaf
padamu nak”, balasku dengan sedih dan meneteskan air mata.
“Dian menyesal
kita pernah bertemu dan abi mengajar Dian.”
“Aku tahu kalau
Dian capek menangis terus, maafkan Abi nak!”, balasku lagi.
BAB III
Empat Matet
Inilah tanggal
yang disepakati oleh saya dan pak Bagdja, untuk datang ke Cirebon dan menerima
Yesus sebagai Juruselamat. Saya hanya ingin pak Bagdja dan istrinya saja yang
tahu saya masuk Kristen, saya malu. Siang hari saya sudah siap naik kereta api
dari Indramayu ke Cirebon. Jam 3 sore saya sudah sampai rumah beliau. Begitu
buka pintu, saya kaget. Ada 18 orang hamba Tuhan di dalam rumah. Mereka dari
Semarang, Cilacap, Cirebon dan Jakarta. Saya langsung pucat seperti mayat, tapi
saya mulai berpikir mungkin syarat menjadi orang Kristen harus diterima banyak
orang. Begitu duduk saya mulai ditanya macam-macam. Saya gugup, saya tidak suka
ditanya-tanya. Saya menahan diri untuk tidak marah. Mungkin ini syarat kedua,
kalau menjadi orang Kristen harus ditanya-tanya. Sore itu hampir saja saya
gagal menjadi Kristen, karena ada pertanyaan yang membuat saya naik darah
begini, “Apa agama yang membuat orang selamat dan masuk sorga?”
Saya kebingungan
jawab apa, saya pikir kalau jawabannya salah saya ditolak jadi orang Kristen.
Akhirnya saya memutuskan tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. “Pak,
saya Ini orang buta, tuntun saya terima Yesus, sudah, jangan tanya
macam-macam”. Semua terkesima dan tidak bertanya-tanya lagi. Mereka menarik
saya ke ruang sebelah untuk membuat surat pernyataan di atas materai 6000.
Setelah membuat surat pernyataan, jam 5 kami berdoa bersama-sama. Saya tidak
biasa berdoa dengan mata tertutup, selama berdoa saya buka-tutup mata saya. Doa
dipimpin pak Lukas dari Semarang. Setelah itu saya melihat mereka semua terharu
dan meneteskan air mata. Saya tidak bisa menangis untuk hal semacam ini.
Sebelum menjadi orang Kristen, saya tidak biasa menangis. Saya hanya bisa
menangis kalau nonton film India. Selanjutnya saya banyak belajar dari mereka
tentang Alkitab, menonton vcd kesaksian, berdoa, dan lain-lain.
Saya ke Semarang
selama 3 hari untuk belajar berdoa, Alkitab, mendengarkan kaset, dan nonton
VCD. Pulang ke Indramayu ketemu keluarga, pergi ke Jakarta, belajar di rumah
mreka, pulang lagi. Istri saya bingung, saya semakin misterius. Perhatian saya
selanjutnya adalah memindahkan keluarga dan mempengaruhi anak-anak agar keluar
dari pesantren Al Zaytun Indramayu
BAB IV
Saddam Husein Menangis
Tatkala pulang
dari Bima, anak saya nomor dua kelas 6 SD tanpa sengaja tahu bahwa saya masuk
Kristen. Sore itu, kami bertamu ke pak Anton dirumah saudara Yusak Surabaya.
Sebelum pulang, tuan rumah berdoa untuk menguatkan iman saya. Tiba-tiba tanpa
diduga-duga Saddam masuk dan duduk sebelah saya. Mendengar doa itu dia menangis
dan geram. Sampai di penginapan dia melempar sepatu dan pakaian yang baru
dibeli, menangis dipojok dan mengintrogasi saya.
“Kenapa abi
masuk Kristen?”
“Saya tidak
masuk Kristen”, jawab saya.
“Tapi dalam doa
pak Yusak, jelas Abi sudah menjadi orang Kristen”
“Saya tidak
masuk Kristen, tapi saya tobat.”
“Itu namanya
masuk kristen, Abi hanya berkelit.”
“Ok Saddam,
sekarang mana yang lebih baik praktek agamanya, orang Kristen atau
non-Kristen?”
Dia berpikir
sejenak, tapi yang jelas beberapa hari mengikuti saya Saddam telah mampu
membedakan cara bergaul orang Kristen yang teratur dan disiplin.
“Tetapi abi bisa
memajukan agama kita”, rajuknya lagi.
“Jawab dulu
pertanyaan saya Saddam.”
“Orang
Kristen!”, jawabnya.
“Nah itulah
jawabnya kenapa Abi masuk Kristen!”
“Saya tahu abi
hebat dalam memimpin orang. Abi bisa kembali ke Bima dan memajukan agama kita
di tempat kelahiran abi.”
“Saya hanya
dapat memajukan manusia karena ada pegangan yang mampu mengubah manusia sesuai
keinginan Tuhan. Alkitab melarang kita meminta-minta, berhutang, melarang
membalas kejahatan dengan kejahatan. Tuhan tidak perlu dibela, kita tidak perlu
bela agama. Perjanjian baru melarang manusia membunuh manusia atas dasar
perbedaan keyakinan.”
“Sejak kecil,
Abi sudah memiliki Kitab Perjanjian Baru, tetapi nenekmu merampasnya dari abi.
Semangat abi terus membara untuk mencari sekolah yang mengajarkan Alkitab. Puji
Tuhan, abi dapat beasiswa untuk kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta,
fakultas Ushuluddin.”
Saddam masih
gelisah, sebentar memegang kitabnya, sebentar memegang Alkitab. Sebentar duduk
di kursi, balik lagi di kasur.
“Sekolah apa
itu, bi?”
“Abi kuliah di
Fakultas Ushuluddin, jurusan perbandingan agama.”, jawabku.
Saddam merenung,
lalu berkata, “Kalau begitu, beri Saddam kesempatan untuk belajar perbandingan
agama, bi. Saddam tidak mau mengikuti agama abi dengan terpaksa.”
“Yah, silahkan
nak. Kesempatanmu luas dan doakan abi banyak rejeki untuk meraih cita-citamu.
Tapi saran abi, ikuti abimu masuk Kristen. Karena abi sudah lama melakukan
studi perbandingan agama dan menurut abi pilihan tepat adalah Kristen.”
Saddam tetap
menolak.
“Jadi selama
ini, orang beragama karena ikut agama orang tua ya, bi?”
“Ya nak, 90%
manusia beragama karena ikut orang tua. Bukan karena kesadaran atau belajar
kebenaran.”, Jawabku.
“Bagaimana kami
dan umi? Apakah abi akan menceraikan umi?”, Saddam bertanya dengan mata
berkaca2.
“Kalian bebas
memilih. Abi orang demokratis tapi jangan ganggu keimanan abi. Mengenai umi,
abi hanya kenal satu suami untuk satu istri. Abi bertanggung jawab bagi
kebahagiaan umi sekalian.”
Saddam tidak
jadi menangis.
“Kalau sudah
sampai di rumah, Saddam akan diskusi dengan bang Fikri dan dik Kadafi.”
“Boleh saja
diskusi, tetapi jangan kasih tahu dulu, kalau abi sudah masuk Kristen.”
“Kapan dikasih
tahu?”
“Kalau kita
sudah pindah dari Heurgeulis, dan abi punya cukup uang untuk mengontrak atau
beli rumah.”, jawabku memberi pengertian.
Jam dinding
tepat pukul 23.00.
“Hati saya sudah
lega bi, Saddam mau tidur dulu.” Katanya, sesaat kemudian Saddam sudah tertidur
pulas. Kucium pipinya. Sampai dirumah Haurgeulis, istri saya membujuk saya
untuk mengajar di pesantren. Tapi mana mungkin saya kembali. Pantang surut ke
belakang. Berbagai cara istriku mengajak untuk merenungkan kembali keputusan
saya. dengan jabatan dan kehormatan yang saya terima, tetapi saya tetap
bersikeras.
“Pindah Jakarta”
Menjadi Kristen
itu sangatlah menakutkan, bahkan mengerikan! Terlintas dalam benak saya,
keluarga dari istri pasti akan mengucilkan. Dulu adik saya perempuan kawin
dengan orang Batak dan tidak pulang kampung sampai sekarang. Kenapa? Dia masuk
Kristen ikut suaminya kemudian dikucilkan oleh keluarga besar kami. Tetapi saya
yakin, kalau hal-hal seperti itu terjadi, Tuhan pasti akan cukupkan segala
kebutuhan saya.
Minggu pertama
pertobatan, saya dan Saddam pulang ke Bima untuk pembagian warisan. Saya hanya
mengambil sebidang tanah wasiat dari ayah. Firman Tuhan terus menguatkan saya,
Matius 10: 34-36 : “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai
di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku
datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu
perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi
rumahnya.” Pertobatan dapat memisahkan satu keluarga dengan saudara sendiri.
Keluarga bukanlah alasan menolak menjadi murid Tuhan. Jika keluargaku membaca
kesaksian ini, mereka pasti akan memaki-maki, mencibir, mencemooh bahkan mereka
telah mengucapkan segala nama binatang kepada saya. Tetapi saya berdoa dan
tetap ramah pada mereka. Saya balas sms mereka dengan tekun dan saya berharap
mereka dijamah Tuhan.
Akhirnya kami
mendapat kontrakan di Jakarta selama 2 tahun. Kami pindah ke situ. Setelah 1
minggu, rumah pun rapih. Saya memberanikan diri memberitahu istri saya bahwa
saya sudah masuk Kristen. Reaksinya sungguh tak terduga.
Berhari-hari
istri saya menangis, dia tidak percaya, “Kamu pikir kamu itu siapa? Kowe iku
Kyai! Kok iso-isone dhadi wong Kresten?” Dia terus menangis. Aku juga ikut
menangis bersama dia.
“Kamu telah
menghancurkan masa depan saya dan anak-anak saya. Kalau sudah begini kamu mau
makan apa? Gaji dari mana? Kamu tinggalkan karir yang telah dibangun
bertahun-tahun. Kendaraan kamu tinggal, tanah yang kamu beli dibiarkan. Kamu
gila!”
Saya tidak
menjawab semua omongan istriku. Saya diam saja.
BAB V
Istriku Meninggalkan Rumah
Saya bersaksi
kemana-mana, banyak orang terima Yesus. Saya juga mengajak istri saya, tetapi
dia menolak mentah-mentah. Dia menentang saya. Orang lain banyak yang terima
Yesus, istri sendiri menolak. Saya seperti laki-laki impoten.
Hanya 7 bulan
tinggal bersama, dia kabur membawa 3 anak ke Jepara. Diantar oleh Manan adik
saya. Mereka tinggal di rumah kakak ipar. Hari-hariku penuh air mata. Saya
kacau balau. Saya telepon istri dan anak-anak saya. Kami menangis bersama.
Istri mengajak saya kembali ke Islam. Saya menolak. Saya mengajak dia memilih
Kristen. Dan dia juga menolak. Saya mendengar anak-anak menangis. Telepon
putus, padahal saya masih mau berbicara. Saya tidak menyerah. Saya telepon
istri agar bertemu, tapi dia bilang tidak mau ketemu. Saya tanya kenapa,
jawabnya karena saya najis. Karena saya sekarang makan babi. Saya tetap
berjuang, saya ingin anak-anak saya mengikuti ajaran injil yang penuh toleransi
dan damai.
Akhirnya
perjuanganku tidak sia-sia, istriku mau ketemu dengan asal tidak bersentuhan.
Saya setuju, yang penting bisa ketemu anak-anak. Malam itu aku langsung ke
terminal Pulo Gadung naik bus malam dari Jakarta ke Jepara. Jam 5 aku tiba.
Anak-anakku berdiri menanti di halaman rumah. Aku cium mereka satu per satu.
Todal tajam, air mata rindu menetes. Aku masuk rumah, istriku duduk menjauh.
Tidak mau menyentuh tanganku yang terulur.
“Istriku, anak
kita akan menderita kalau kita cerai.”
“Oke, aku mau
hidup suami istri lagi, tapi dengan syarat kmu masuk Islam lagi.”
“Istriku, aku
tidak mungkin masuk Islam lagi. Aku hanya bisa hidup dalam Kristus dan Kristus
hidup di dalam kamu. Aku hanya mencintai kamu, aku tidak bisa kawin dengan
empat istri.”
“Kalau kamu mau
kawin lagi silahkan, asal kembali ke Islam.”, kata isteriku lagi.
Tidak akan aku
mengkhianati cintaku padamu dan aku tidak akan pindah ke lain hati, tetapi aku
mencintai Yesus lebih dari segalanya.
Istriku putus
asa, marah karena gagal mengajak saya menjadi muslim. Dia mengambil gunting.
Aku segera berkemas memasukan laptop dan LCD dalam tas. Istriku mengejar dengan
gunting di tangan. Aku segera berlari menuju pintu untuk mengambil sepatu.
Istri saya mengejar bahkan gunting hampir menancap di punggung saya. Saya tidak
sempat meraih sepatu, saya dobrak pintu. Istri saya menggunting sepatu sampai
terburai dan melemparkan ke saya. Saya meloloskan diri menggunakan sandal
jepit. Kabur naik bus ke Surabaya. Dalam bis saya menangis, Oh Tuhan apa salah
hambaMu ini? Kok jadi orang Kristen malah tambah susah? Dalam bis saya terus
menangis karena tak kuasa menahan haru, meskipun saya agak malu dengan
penumpang lain. Saya duduk melihat keluar sepanjang jalan. Saya melihat hutan
dan pohon jati yang tegak teguh ke langit. “Itulah jati diriku”, pikirku. Aku
tak akan goyah.
Sampai di
Surabaya saya siap pelayanan, saya jalan di mall Pakuwon. Ada yang menegur
kenapa saya karena memakai sandal jepit. Setelah saya jelaskan dia terharu. Dia
ajak saya ke toko sepatu. Setelah mencoba sepatu yang cocok, tak terasa air
mata membasahi pipi. Sambil berjalan dengan sepatu baru, saya memuji Tuhan
dalam hati. Perempuan penjaga toko memanggil-manggil, “Pak, sandalnya
ketinggalan!” Aku pura-pura tuli. Air mata di pipi kubiarkan saja. Tuhan tahu
tadi pagi sepatuku robek dan Dia ternyata tidak mempermalukan hambaNya. Dia
hidup.
BAB VI
Yesus Waktu Aku Kecil
Menjelang ujian
SD saya bermimpi duduk bersama nabi-nabi besar. Sebelah kanan Yesus, Musa,
Ibrahim, Nuh dan sebelah kiri nabi Muhammad SAW. Mereka berpakaian putih dengan
wajah ramah dan berseri-seri. Pagi-pagi saya menyatakannya kepada kakak saya
Aisyah, “Tadi malam saya bermimpi duduk bersama para nabi besar di langgar
(mushola) kita”. Jawab kakak saya, “Oh, kau telah melihat mimpi yang benar.
Karena setan tidak dapat menyerupai wajah nabi”.
Kini saya paham
makna mimpi tersebut, bahwa hidup saya seperti mengikuti arah jarum jam yang
berputar dari kiri kekanan. Dari mengikuti ajaran nabi Muhammad, nabi Nuh, nabi
Ibrahim, Nabi Musa dan terakhir ajaran Tuhan Yesus. Sewaktu SD saya memiliki
kitab Perjanjian Baru, Mazmur, dan Amsal berwarna putih. Kitab itu diberikan
oleh sepupu Fatimah anak guru Said dan selalu saya baca setiap ada kesempatan
bahkan sering saya baca dengan keras. Suatu hari ibu saya mendengar, lalu
mengambil kitab itu dan menyembunyikannya. “Nanti kamu akan masuk Kristen”,
kata Ibu saya.
“Tidak mungkin
mama, saya anak guru agama dan saya akan jadi pembela agama yang tangguh. Janji
mama, tidak akan terjadi.”, kataku kepada mama yang sudah mulai kuatir.
“Baiklah, tapi
mama tetap menyimpan kitab ini sampai kamu besar nanti.”, katanya lagi. Hingga
beliau meninggal, kitab warna putih itu tidak diketahui lagi dimana rimbanya.
Sejak mama
mengambil kitab tersebut, saya mulai cari info pada saudara-saudara tentang
sekolah yang mengajarkan Alkitab. Mereka menyarankan masuk fakultas Ushuludin
jurusan perbandingan agama. Ternyata bukan kebetulan kalau setelah lulus SMA
saya dapat beasiswa dari pimpinan pusat Muhammadiyah untuk kuliah di Univrsitas
Muhammadiyah Surakarta sekaligus mondok di pesantren Hajjah Nuriyah Shobron,
Makamhaji.
Saya dan Ikhwan
tanpa pikir panjang mengambil fakultas Ushuludin jurusan perbandingan agama.
Selama kuliah pengalaman keagamaan saya tumbuh bagus. Saya selalu mendapat
tugas mubaligh hjrah di Klaten dan Wonogiri. Saya juga asisten dosen mata
kuliah Al-Islam dan Kemuhamadiyah di FKIP dan fakultas psikologi.
Ada satu
kejadian lagi yang sangat berkesan dalam hidup saya tentang orang Kristen
Sebelum masuk
kuliah, saya berkunjung ke rumah bibi saya di Pancoran Jaksel. Turun di
Terminal Pulo Gadung lalu naik bus ke arah Blok M. Duduk di sebelah kanan saya
ternyata pemuda Kristen. Dia menanyakan tujuan saya dan saya jawab mau ke rumah
bibi saya (sambil merogoh kantong mengambil secarik kertas).
“Sudah pernah
kesana?”
“Belum!”
“Boleh saya
antar?”
“Terima kasih
sekali!”, jawabku gembira.
Pemuda ini
sekitar 3 tahun lebih tua dariku. Dia yang bayar ogkos bis, becak, menanyakan
alamat dan mengantar sampai ke rumah bibi. Seusai minum, dia pamit pulang dan
saya kasih uang karena telah membantu saya. Tetapi dia menolak dengan halus,
“Saya masih punya, terima kasih”, katanya. “Bah!”, kataku dalam hati, “Dia pula
yang berterimakasih padahal dia yang lelah.” Pemuda itu keluar pintu rumah
dengan tersenyum, saya tertegun, terkesima hingga pemuda itu hilang dari
pandangan mata.
Saya bahkan lupa
menanyakan siapa namanya. Wahai saudaraku, kalau saudara membaca tulisan ini
saya berterima kasih dan ingin berkenalan dengan Anda.
BAB VII
Tetap Teguh
Saya merasa
bersalah kepada istri saya, tapi saya tidak mungkin mundur. Ternyata jadi
Kristen itu ada harga yang harus dibayar. Tapi apakah ditinggal anak istri
adalah harga yang dimaksud? Tuhan menginginkan setiap pernikahan kita menjadi
sarana untuk mengalami kehidupan yang utuh. Suatu hari, pernah saya ke Jepara
bersama pak Bagio dan pak Imam. Jam empat pagi saya tiba di Jepara. Tidak ada
yang berani buka pintu. Saya paksa buka pintu dan bertemu istri saya. Saya
hendak memeluknya tetapi dia teriak memanggil kakaknya.
“Kamu mau apa?”,
tanya iparku.
“Kakak mau
apa?”, gertakku sengit.
“Saya usir
kamu”.
“Enak aja
mengusir saya, anak-istri saya di sini.”, jawabku.
Kakak ipar saya
memanggil polisi. Empat orang polisi datang, tetangga juga berdatangan.
“Jangan
coba-coba sentuh saya, polisi, kamu belum tau siapa saya?”, saya gertak mereka
(maksudnya kalau belum tau, tanya!).
Polisi bilang
kalau kedatangan mereka hanya untuk berjaga-jaga, “Jaga di luar! Jangan ikut
campur urusan rumah tangga!”, jawab saya lagi. Mereka keluar ke halaman. Semua
keluarga jadi takut karena saya bisa mengusir polisi. Pak Bagio dan pak Imam
yang mengantar saya kabur, karena mobil mau dibakar. Pagi itu, tersiar berita
bahwa menantu pak Marhadi sudah jadi pendeta.
Sorenya saya
berhasil merayu anak sulung saya Fikri makan di luar. Dia mau dan akhirnya saya
“culik” ke Surabaya. Bertemu dengan pak Dharmanto, beliau malah menyarankan
saya mengembalikan Fikri. “Wah ini dapet orangnya ga dapet hatinya.”, kata
beliau. “Maksudnya pak?”, tanyaku. “Pak Abraham harus mengembalikan anak
tersebut”, jawabnya.
Gagal rencana
saya, padahal Fikri mau saya bawa ke Bima, tinggal dengan kakakku biar istri
saya tahu rasa. Dua hari kemudian saya dan Fikri kembali ke Jepara. Dan istri
saya ternyata sangat bahagia. Dia mendekati dan mencium saya. saya juga
bahagia, kusentuh tangannya dan menciumnya sambil meminta maaf. Saya semakin
rajin mendoakan istri dan anak-anak. Tak ada sedikit pun niat untuk berpisah
dengan mereka, walaupun istri saya tidak mau tidur dengan saya.
“Tiap makan saya
selalu mendoakan kamu, istriku, agar kamu diberkati Tuhan.”, kataku suatu kali
dalam telepon. “Saya juga selalu mendoakanmu suamiku”, jawab istriku. “Apa doa
kamu buat saya?”, tanyaku. “Saya berdoa kepada Allah setiap usai sholat agar kamu
kembali menjadi muslim”, jawab istriku. “Wah kamu salah berdoa, karena tidak
mungkin Tuhan mengabulkan doa seprti itu”, kataku. Suaranya tambah lama tambah
pelan lalu menangis. Kucoba menenangkannya.
Kami memang
saling mencintai, kalau ketemu kami saling melepas kangen. Aku cukup mencium
tangannya dengan mata berkaca-kaca. Dia menatapku penuh makna. “I Love you”,
bisikku.
Lama kami
berpisah, istriku minta cerai tapi kutolak. Istriku memintaku kembali ke Islam,
tapi aku tetap menolaknya. Saya tetap teguh dengan pendirian saya. Bila bertemu
dengan istriku, saya habis-habisan memberi pengertian tentang kekristenan.
Suatu hari saya bilang pada istriku bahwa muslim harusnya merayakan natal juga,
bahkan dengan meriah. Istri saya heran. Saya jelaskan padanya bahwa dalam
Alqur’an hanya Yesus (Isa) yang kelahirannya diceritakan dengan penuh
sejahtera. Istri saya kaget, lalu saya perlihatkan ayatnya. Kami terus terlibat
dalam diskusi ayat-ayat Alquran dan Alkitab.
Akhirnya
Desember 2008, istriku dibaptis. Sempurna sudah kebahagiaan saya. Dua tahun
saya bergumul dan berdoa kepada TUHAN. Dan Dia menjawabnya dengan indah.
BAB VIII
Beberapa Alasan
1. Murid-muridku
Saya sangat
dekat dengan mereka dan mereka tahu bagaimana saya membela agama. “Abi sudah
tidak waras lagi”, kata muridku di Yogya. Lain lagi dengan kata anakku, “Saya
bangga dengan abi, karena pembela agama yang berkobar, tapi kenapa abi masuk
Kristen?”, kata Fikri pada uminya. Saya juga sering bertemu santri di berbagai
tempat. Di Balikpapan saya bertemu dengan wali santri, mereka berterimakasih
atas bantuan saya dalam mendidik anak mereka. Saya jawab bahwa hal itu sudah
menjadi kewajiban seorang guru. Saya kuatir dalam hati dia belum tahu kalau
saya sudah jadi orang Kristen.
Selama kesaksian
ini belum terbit, saya masih tiarap. Saya tinggalkan pesantren. Teman-teman di
dewan guru berusaha menahan saya, tetapi saya tetap teguh dengan keinginan hati
saya. Kesaksian ini adalah sebuah bentuk jawaban terhadap semua pihak yang
menanyakan mengapa saya masuk Kristen. Termasuk buat keluarga besar saya.
Semoga setelah membaca ini mereka akan mengajak saya berdialog tentang Islam
dan Kristen. Dengan dialog, kita bisa memperluas wawasan tentang pentingnya
hubungan yang harmonis antar umat beragama karena agama tidak boleh dipaksakan
(QS 2:256).
2. Ekonomi
Menjadi Kristen
tidak perlu ragu, apalagi tentang masalah ekonomi. Contoh, takut lapar? Tuhan
telah menyiapkan makanan yang cukup. Ingat mukjizat 5 roti 2 ikan. Ingat kata
Yesus (Matius 6:25).
3. Perilaku
Ini yang saya
risaukan, dunia tidak menyaksikan apa yang diramalkan Samuel Huntington. Dia
meramalkan bahwa akan terjadi bentrokan budaya yang hebat. Tapi yang terjadi
bukanlah bentrokan budaya ataupun agama. Tapi bentrokan antra modernitas dan
ketidakpahaman. Bentrokan antara dua kubu yang hidup saling bertentangan secara
diametral. Antara manusia yang hidup abad 21 dan abad pertengahan. Pertarungan
manusia yang belum beradab dengan manusia beradab.
Konsep bentrokan
peradaban ini diungkapkan oleh Samuel Huntington, dan “eksekutornya” adalah
golongan yang meradikalkan diri atas dasar golongan dan keyakinan tertentu.
Ketika ada yang membagi dunia menjadi merah dan putih, atau membagi dunia
dengan Kristen dan non Kristen dan menyatakan perang abadi terhadap yang non
atau sebaliknya, mereka tunduk kepada kehendak yang kuat maka inilah akar
masalah dan sumber konflik.
Saya bingung
dengan orang yang suka mempermasalahkan kepercayaan orang lain, bagi saya apa
yang saya percayai adalah urusan saya, bukan urusan mereka. Saudara silahkan
menuhankan batu, selama anda tidak melemparkan batu itu kepada saya. Anda bebas
menyembah apa saja, namun kepercayaan orang lain bukanlah urusan Anda. Apa
urusan Anda kalau ada orang yang percaya bahwa Kristus adalah Tuhan? Putra
Maryam. Atau bahwa setan adalah Tuhan? Biarlah orang percaya apa yang mereka
mau yakini. Kita disuguhkan berita sekelompok orang mendatangi tempat yg
dianggap sesat, lalu usahanya dibakar, rumah dirusak, bahkan ada yang dibunuh.
Kejadian seperti ini sering kita lihat. Mereka mencoba memberlakukan hukum
islam. Hukum Islam tidak bisa diberlakukan di sini. Perusakan cafe, lokalisasi,
dan lain-lain seharusnya boleh dilakukan jika hukum Islam sudah berlaku di
negara ini. Jangan setengah-setengah. Sebagai contoh hukum Islam: yang berzinah
dirajam, pencuri dipotong tangannya, tiap jum’at muslim dipaksa ke masjid, dan
lain-lain. Kalau hal-hal seperti itu belum berlaku, siapa yang bisa menjamin
bahwa yang merusak cafe itu sholatnya tekun (pelaksana hukum islam)?
Banyak orang
Kristen pindah agama, apa harus dihukum murtad oleh orang Kristen? Atau
dicari-cari untuk dibunuh? Malah dibiarkan saja. Bagi orang Kristen itu urusan
dia dengan Tuhan. Beragama adalah hak asasi manusia. Biarkan saja! Terorisme
telah melumpuhkan saya pada kepercayaan lama.
Dunia patut
berterima kasih pada bangsa Yahudi atas penemuan dan kemajuan sains pada abad
19 dan 20. Ada 15 juta orang Yahudi diseluruh duniaa, mereka bersatu dan
memenangkan hak mereka lewat banting tulang dan peras otak. Saya belum pernah
melihat orang Yahudi meledakan diri mereka di hotel Jerman (ingat Holocaust).
Atau orang Yahudi yang membakar gereja. Belum ada satu Yahudi pun yang
memprotes sesuatu dengan membunuh orang lain.
Walau Taliban
telah menghancurkan 3 patung suci Budha, belum pernah kita melihat satu orang
budha membalas menghancurkan masjid, membunuhi muslim atau membakar kedutaanya.
Saya sadar bahwa
di jaman sekarang, hanya agama yang penuh toleransi dan kasih saja yang akan
dipilih oleh orang-orang intelek. Cara-cara kekerasan tidak akan menghasilkan
apa-apa. Ajaran yang kumuh, akan segera lisut seperti rumput kering. Dalam
banyak negara, ajaran agama adalah sumber pendidikan dan menjadi pusat
pembentukan ideologi seseorang. Saya telah mencapai titik di mana saya akan
terus mempelajari ajaran dari kitab-kitab suci agama-agama besar. Karena Firman
Tuhan adalah Ya dan Amin. Dan ketika saya baca ayat dalam Qur’an, memang banyak
ayat perang terhadap kafir, dan sebagainya. Tapi dalam pemahaman ayat-ayat
Qur’an, sangat diperlukan perhatian ulama dan pendeta untuk bisa menjaga
toleransi dan perdamaian. Karena banyak ayat-ayat Qur’an yang akhirnya
digunakan oleh sebagian kelompok kecil untuk membenarkan semua tindakan melawan
hukum Negara yang sah. Manusia tidak berhak mencabut nyawa orang lain atas nama
agama.
4. Kasih sayang
Kasih sayang
artinya saling bekerja sama tanpa memandang iman, warna, bahasa dan asal usul.
Mencoba membangun metode pemahaman baru dan menghormati satu sama lain.
Bayangkan kalau kita terus bertikai karena agama, bagaimana anak cucu kita
menulis sejarah nenek moyangnya?
5. Teman baru
Buku ini pasti
akan dibaca banyak orang, termasuk teman-teman saya. Jangan menghujat teman,
mari kita berdialog untuk hidup yang lebih baik. Mari kita bangun persaudaraaan
yang lebih baik antar umat beragama. Telah banyak darah yang mengalir hanya
karena membela agama. Saya siap berdialog dengan Anda kapan saja, Ok?
BAB IX
Penutup
Sampailah
kesaksian ini pada bab terakhir, penulis merasa bahwa ini semua karena kasih
karuniaNya. Dialah rahman dan rahim. Terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu banyak dalam penulisan kesaksian ini. Kesaksian ini bukan untuk
mencari popularitas atau menyinggung siapapun. Semua hanya Untuk kemuliaan
Tuhan saja. Trimakasih kepada istriku Natalia N*******I, I Love You. Dan ketiga
anak kami, Fikri K******I, Saddam H****n, Muammar K****I, Tuhan memberkati
kalian semua. Biarlah kehendakNya yang jadi.
Saifuddin Ibrahim
Gratis Download Doc ….
Download
Sumber: http://akucintamuslim.wordpress.com/tag/ustad/
Kumpulan Kisah Nyata:
No comments:
Post a Comment