Perjalan Hidup Gulshan Fatima, yang
harus masuk penjara karena mempertahankan kepercayaannya, kesaksian ini dari
Negara Pakistan. Dengan mempertahankan hidup dia tidak mau menjual imannya,
didalam sel tahanan Gulshan Fatima masih menceritakan pengampunan yang Tuhan
berikan kepada teman-temannya di sel tahanan.
Mencari
Pekerjaan
Saya berdiri diruangan
duduk rumah wanita yang kucari itu yang menatapku secara seksama. Beliau
seorang wanita yang sangat cantik, perawakannya lebih tinggi dari saya,
berkulit putih, rambut pendek. Ia mengenakan sebuah "Shalwar kameeze"
merah muda serta sebuah baju dingin lengkap dengan syal bersulam disekeliling
bahunya. Beliau tersenyum manis padaku. "Betapa baiknya anda meluangkan
waktu mengunjungi saya. Rasanya kita belum pernah berjumpa sebelumnya! Suamiku
sedang tidak dirumah sekarang. Ia di Islamabad sampai malam nanti.
Ia seorang yang
baik". Saya katakan bahwa saya
telah mendengar tentang suaminya yang adalah seorang yang penting. Nyonya menundukkan
kepalanya yang anggun lalu meminta teh buat kami. Sambil menikmati teh dari
mangkuk cina bercorak bunga-bungaan beliau melayani saya dengan percakapan yang
sangat menyenangkan dan sopan, menanyakan tentang kesehatanku dan bagaimana
perjalananku dari Gujarat. Beliau sangat prihatin mendengarkan keadaan Anis.
Saya tidak meneruskan percakapan tentang hal ini secara terperinci karena
merasa bahwa mungkin beliau tidak menghendaki para pelayan mendengarkan tentang
apa yang akan kukatakan.
Selesai minum teh
beliau mempersilahkan saya mengikutinya. Saya dibawa kekamar tidurnya, menutup
pintunya, mempersilahkan saya duduk lalu mulai mengajukan pertanyaan yang sejak
tadi belum diutarakan diantara kami,"Kenapa anda datang tanpa memakai
kerudung? Dan mengapa seorang diri? Dalam keluargamu gadis-gadis tidak keluar
rumah seperti ini. Apa yang terjadi atasmu? Apakah kau menemui sesuatu
kesulitan?"
Saya mengenakan sebuah
baju putih dengan Shalwar Kameeze dan ada sebuah selendang yang dililitkan
sekeliling kepalaku. Sudah lama saya berhenti mengenakan Burka. Namun, saya
tidak berkeinginan untuk bersoal jawab tentang hal itu sekarang.
Saya menjawab,
"Nyonya merasa terkejut waktu melihat saya tidak memakai kerudung. Apakah
nyonya tidak terkejut waktu melihat saya dapat berjalan? Nyonya kan tahu bahwa
saya ini seorang yang lumpuh dan sakit ditempat
tidurku selama 19 tahun !"
"Saya tahu tentang
hal itu. Sekarang ceritakan padaku, siapakah dokter
yang mengobatimu sampai engaku dapat sembuh sempurna seperti itu?"
Menceritakan
Tuhan yang menyembuhku
"Akan kutunjukkan
dokterku kepada nyonya". Saya membacakan baginya ceritra tentang seorang
lumpuh diangkut oleh 4 orang dan disembuhkan Yesus
dalam Markus 2 : 9-11. Kemudian kuberikan padanya Alkitab bahasa Urdu
agar dibacanya sendiri. Diambilnya buku itu seolah-olah akan memegang seekor
ular, memandangnya sekejap lalu mengembalikannya kepadaku. "Buku ini milik
orang-orang Kristen" katanya ketus.
"Benar, dan saya
juga seorang Kristen" jawabku.
Beliau memegang lengan
kursinya erat-erat,"Apakah tidak salah pendengaranku?"
"Itulah yang
sebenarnya, sekarang saya telah menjadi milik pribadi yang memberikan
kesembuhan
padaku."
"Sebenarnya apa
yang kau maksudkan dengan hal itu?"
Maka saya menceritakan
padanya cerita itu tanpa menyebut sesuatu nama Kristen.
Tuan rumahku berusaha
menenangkan dirinya. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan dengan langkah-langkah
pendek di sekeliling ruangan itu lalu duduk berhadapan dengan saya lagi sambil
condong ke depan, memandang padaku dengan sangat prihatin tapi lantas katanya,
"Jika Yesus menyembuhkanmu, apakah merupakan suatu keharusan untuk menjadi
Kristen ?"
"Dalam kasus saya,
Ya. Saya telah menemukan hidup yang baru dan kini saya menjadi milik Pribadi
itu yang telah memberikan padaku suatu hidup baru. Oleh sebab inilah saya telah
diusir dari rumahku. Namun, saya tidak datang kemari untuk mendiskusikan agama
dengan Nyonya. Saya datang untuk memohon bantuan Nyonya, sekiranya dapat
membantuku mendapatkan pekerjaan pada salah satu lembaga kewanitaan yang Ibu
pimpin. Dapatkah Ibu membantu ? Pekerjaan yang sederhanapun boleh, saya tidak
mengharapkan pekerjaan dengan gaji besar".
Terdiam sebentar.
Beliau memperhatikan corak-corak permadani yang bagus itu. "Demikian
rupanya, tidakkah kau tahu bahwa sebenarnya saya berpikir ada seseorang telah
menculikmu dari rumahmu dan kau dapat lolos kemari untuk mencari
pertolongan." Beliau tertawa kecut. "Baiklah, kau akan bermalam di
sini semalam dan besok saya akan mengatur sesuatu bagimu."
Saya mendapat kamar
sendiri dan makan malam yang dihidangkan oleh salah seorang pembantunya.
Hubungan keluarga, walaupun sebegini jauh, bagaimanapun lebih erat dari yang
saya perkirakan. Besok paginya sesudah saya sarapan sendirian di ruangan-makan,
saya bertemu dengan suaminya. Beliau segera menegurku dengan sopan dan meminta
saya meninggalkan Kristen. Tentu saja saya dengan cara yang sopan, saya menolak
permintaannya.
Saya
disuruh pindah kepercayaanku
Di dalam diriku saya
menggigil karena kini saya berhadapan dengan seseorang yang berpengaruh dalam
pemerintahan. Baginya akan mudah sekiranya beliau mau menyikat saya seperti
menghadapi seekor nyamuk yang mengganggu, walaupun saya adalah sahabat dekat
keluarganya. Beliau berkata, "Pikirkanlah tentang apa yang kau katakan.
Masih ada waktu bagimu untuk kembali lagi ke Islam dan saya akan mengatur agar
kau dapat berdamai lagi dengan keluargamu.
Apakah secara tidak
langsung tersirat di dalamnya sesuatu ancaman? Saya menarik napas dan
menenangkan syarafku. Saya mempunyai suatu kesempatan kali ini yang tidak boleh
kubiarkan berlalu.
"Terima kasih,
namun maaf, tidak" jawabku, "Saya tidak bertengkar dengan mereka,
saya tidak bermusuhan dengan siapapun, Pribadi yang saya percayai ialah Raja
Damai dan Dia juga memberi Damai kepada Bapak." Kata-kata itu keluar dari
mulutku sebelum saya menyadarinya.
"Kenapa anda tidak
meninggalkan kekristenan itu? katanya dengan nada yang agak menunjukkan
kehilangan kesabaran, "Jika anda tidak mau tinggal dengan kakakkakakmu,
mari tinggal bersama kami selama hidupmu."
Tawaran ini baik sekali
dan saya yakin beliau mengutarakan dengan tulus. "Terima Kasih, tapi
kekristenanku bukan hanya sekedar agama dimana seseorang dapat melepaskannya
bila dia merasa bosan, melainkan merupakan suatu perubahan hidup bagiku. Jika
saya berhenti hidup dalam Kristus maka saya akan mati." Lalu saya
menambahkan, "Sekiranya bapak tidak dapat membantu untuk mendapatkan
sesuatu lowongan kerja bagi saya, katakanlah lalu saya akan pergi dan tidak
akan mengganggu bapak lagi".
"Oh ya kami akan
mengatur sesuatu untukmu". Beliau mengerdipkan matanya kepada istrinya
sambil berjalan keluar. Saya mendengar istrinya memanggil sopir untuk
menyiapkan mobil.
"Mari",
katanya dan kami masuk kedalam mobil dan berangkat menuju arah kota. Mobil itu
berhenti diluar sebuah pintu gerbang besi yang besar dikelilingi
dinding-dinding yang tinggi. Di atasnya saya dapat melihat sebuah bangunan
beton yang besar. Sebuah tanda menyebutkan bahwa tempat itu ialah Penjara Pusat
Rawalpindi. Jadi rupanya disinilah tempat saya bekerja.
Si sopir memanggil
penjaga yang membuka pintu gerbang itu. Kawanku, Nyonya tersebut membawaku
masuk ke kantor pengawas dan berbicara sebentar dalam bahasa Inggris, jelas
rasanya tentang saya. Lalu pengawas membunyikan lonceng dan seorang wanita
setengah baya muncul dengan setumpuk kunci yang bergemerincing bunyinya.
Pengawas itu mengatakan sesuatu kepadanya yang tidak dapat kudengar dan
mengangguk kearahku lalu wanita itu berkata "Mari". Nyonya, kawanku
yang baik hati itu berkata,"Anda pergi bersama wanita ini. Tempat ini akan
lebih baik buat anda."
Saya
tidak tahu kalau dibawa ke penjara
Saya berterima kasih
padanya dengan hangat dan mengikuti wanita itu keluar melewati serambi. Sebuah
gerbang yang dipalang dibuka lalu wanita itu membawa saya kedalam sebuah
ruangan yang panjang seperti aula dengan langit-langitnya yang tinggi dan tidak
berjendela. Cahaya yang masuk kesana datangnya dari gerbang berjeruji besi yang
dipasangkan kesalah satu dinding. Ada satu lagi gerbang tertutup diseberangnya.
Ada kira-kira 10 wanita berjongkok diatas tikar-tikar anyaman daun palem yang
kotor, ada yang berbaring atau bersandar di dinding dengan sikap-sikap merengut
atau acuh tak acuh. Saya mendengar bantingan pintu tertutup di belakangku lalu
dikunci dan tanpa daya memandang ke arah wanita yang paling dekat denganku.
"Apa yang terjadi?
Dimanakah pekerjaan yang akan kulakukan?.
"Pekerjaan? Tidak
ada pekerjaan disini. Kau berada di penjara, sama seperti kami. Apakah yang
telah kau lakukan sehingga dijebloskan kesini?"
Saya memerlukan waktu
satu-dua menit untuk menyadarinya. Apa yang dinamakan sahabat dekat keluarga
ini telah menjebloskan saya ke penjara dengan alasan karena saya seorang
Kristen. Saya telah dikelabui dan terperangkap. Saya berlalari ke pintu gerbang
dan menggoncang-goncangkan palangnya. Tidak ada seorangpun yang datang, saya
memanggil manggil, tidak ada yang menjawab, kecuali wanita muda yang telah
berbicara padaku tadi.
"Engkau dapat
berteriak-teriak sekuat-kuatmu tidak akan menolong untuk membuatmu keluar dari
sini." Saya berpaling padanya, "Tempat apakah ini ?"
"Anda harus tahu,
oh orang yang masih hijau, tempat ini ialah Penjara penitipan, tempat seseorang
ditahan menunggu untuk diadili atau jika kau dapat menemukan seseorang yang
akan menebusmu keluar". Cara mengutarakannya lebih keras lagi,
kedengarannya dari yang diucapkannya.
Saya berusaha untuk tetap
tenang dan berpikir. Berapa lamakah saya akan di tahan disini? Kejahatan apa
yang akan mereka tuduhkan padaku? Apakah menjadi pemeluk Kristen merupakan
kejahatan? Jelas, menurut undang-undang dasar, menjadi kelompok minoritas
bukanlah sesuatu kejahatan. Namun, menurut hukum Islam, saya telah melakukan
sesuatu kejahatan yang sangat besar dan bagi keluargaku tindakanku telah
menjadi suatu kenajisan. Pikiran itu mengingatkan saya, akan janji Anis untuk
datang menemui saya. Saya yakin kakakku akan segera datang. Kemudian mataku
tertuju kearah tasku-merupakan suatu keuntungan bagiku tas itu tidak mereka
sita dariku. Dan Alkitabku ada didalamnya bersama beberapa potong pakaian yang
merupakan harta kekayaan tidak ternilai di tempat seperti itu.
Saya melihat
sekelilingku lebih teliti lagi. Dimana saya dapat beristirahat disini? Panjang
ruangan itu kira-kira 25 meter, ada tiga atau empat kamar disampingsampingnya
dimana diletakkan tempat-tempat tidur besi ditutup dengan selimut tebal
berwarna gelap. Udara disini dingin karena aliran udara malam Himalaya, yang
masuk melalui lobang berjeruji dari gerbang yang dipalang itu. Namun, sepintas
lalu saya berkata kepada diriku bahwa saya tidak akan dapat tidur disini.
Kamar-kamar itu sangat
gelap, tanpa aliran udara, tanpa jendela seperti kuburankuburan saja layaknya.
Dan saya tidak mau di gigit hidup-hidup oleh seranga-serangga yang menghuni
selimut-selimut itu. Diluar, dilantai yang dingin, keras dan kotor itu,
wanita-wanita lainnya membuangkus diri mereka seluruhnya dengan seprei dan
bertiduran di atas tikar-tikar kotor. Sambil membungkus diriku dengan kain
sebanyak mungkin yang tersedia dan dapat dipakai, sepanjang malam saya duduk
terus sambil terkantuk-kantuk memandang lewat jeruji-jeruji penjara ke langit
malam yang bersih disinari bulan dan bintang-bintang. Kebersihan makanan
merupakan, suatu masalah yang terus menerus menyakitkan hatiku, begitu juga
yang dirasakan wanita-wanita lainnya.
Bau yang tidak sedap
yang tercium didalam ruangan itu menunjukkan bahwa ada kamar kecil didekatnya
sedangkan air untuk menyiram tidak cukup begitu juga peralatan untuk mencuci
yang layak - yang ada hanya sedikit air sebanyak satu ‘muntuka’ atau ember dan
merupakan jatah untuk dibagikan diantara kami selama sehari penuh oleh tukang
air. Ada sebuah mangkuk yang dipasangkan rantai diikatkan pada bagian atas
ember, dua gelas untuk minum dan sebuah ‘lotha’ untuk keperluan air wudhu.
Saya tidak pernah
melihat seorangpun yang menggunakannya selama saya disana. Bersembahyang
merupakan hal yang sangat jauh dari pikiran mereka. Tiga kali sehari seorang
penjaga penjara masuk membawa sesuatu yang merupakan makanan roti kering dan
teh untuk sarapan serta pada waktu makan lainnya, sup miju-miju (lentil) encer,
‘chapatti’ yang kurang dimasak dan sesekali terong tawar. Rupa dari makanan
ini- yang tidak akan saya berikan bahkan bagi para pengemis dirumahku -
menyebabkan para narapidana naik pitam kadang-kadang mereka menyiramkan teh
keatas penjaga yang jatuh, menyumpah-nyumpahinya begitu juga koki, polisi,
menutup telingaku rapat-rapat.
Melewati gerbang
berpalang itu, di kejauhan kami dapat melihat pada selang-seling waktu para
anggota keluarga atau kawan-kawan dari narapidana datang memberikan
penghiburan. Gerbang akan dibuka dan satu atau dua dari para wanita itu akan
dibawa keluar ke kamar tamu untuk waktu singkat lalu kembali membawa oleh-oleh
yang agak dapat memperbaiki keadaan hidup - seprei-seprei bersih, makanan. Segera
nasi manis dan pilau serta potongan-potongan ayam dibagi-bagikan keliling tapi
saya tidak mendapat bagian.
Tidak ada yang meberi
perhatian atas kehadiranku atau berkeinginan untuk menuduhku dengan sesuatu
tuduhan. Namun saya ketahui bahwa tempat ini hanyalah tempat tahanan sementara
bagi mereka yang menunggu untuk di adili. Berapa lama gerangan seseorang
dibiarkan merana ditempat ini tanpa diadili?
Saya bertanya pada
petugas penjara, wanita setengah baya, "Kenapa saya berada disini?"
"Saya tidak tahu kenapa,
pengawas penjara memerintahkan saya, katanya acuh, saya hanya menuruti perintah
saja".
Dari arah barat penjara
yang satunya untuk pria yang dapat mendengarkan jeritan orang-orang yang sedang
dipukul kuat-kuat. Wanita-wanita lainnya - sebagian terlibat dengan geng-geng
dikota mengatakan bahwa cara ini dilakukan agar seseorang mengaku dan dapat
dibuatkan tuduhan yang wajar atasnya. Saya juga mengetahui bahwa perempuanpun
dipukuli oleh petugas wanita untuk maksud yang sama. Saya menunggu bertanya-tanya
apakah hal semacam ini juga akan menimpa saya.
Membaca
Firman Tuhan
Selama seminggu pertama
saya tidak dapat tidur dilantai keras itu atau memakan makanan penjara. Sekali
menghirup bau sup saja telah menghilangkan napsu makanku. Saya tidak suka akan
keadaan kotor atau caplak, bau atau pada mulanya para wanita bersamaku disitu.
Namun, ketika diombang-ambingkan oleh kesangsian dan gelombang ketakutan maka
saya akan mengambil Alkitab ku yang sangat berharga, dan saya mengalami bahwa
lama kelamaan saya mulai dapat menyesuaikan keadaan dan perasaan damai mulai
mengalir laksana sungai di hatiku.
Saya membaca tentang
Petrus dan Yohanes dalam penjara di Kisah Rasul 12 : 6-8. Terasa olehku bahwa
bagi mereka pun hal ini merupakan suatu pukulan karena diperlakukan sebagai
penjahat seperti halnya dengan saya. Namun keduanya mengucap syukur dan menyanyikan
puji-pujian. Begitu juga Rasul Paulus, menulis dari dalam penjara: "Dalam
segala hal aku mengucap syukur". Baiklah bila demikian, saya akan mengucap
syukur karena dapat membuktikan pada Allah ketabahanku waktu menghadapi hal
yang sama.
Pada mulanya saya
menggunakan waktu lowong utuk dimeditasikan atas Firman Allah, saya
mengasingkan diriku dari kawan-kawan seselku. Jelas bagiku kebanyakan dari
mereka adalah penjahat-penjahat yang mencintai kejahatan. Anggota-anggota geng
dan kelompok penjahat kota besar, pencuri, pencopet, penculik dan seorang yang
melakukan pembunuhan di propinsi perbatasan barat laut yang membunuh suaminya.
Oh. perasaan sombong yang bercokol dalam diri "penjara" ini merupakan
obat mujarab untuk melenyapkannya. Karena hanya berdiam diri dan tenang sewaktu
saya mencurahkan perhatian pada Alkitabku maka timbullah rasa hormat dan ingin
tahu mereka terhadapku. Saya merupakan teka-teki yang pada akhirnya memerlukan
penjelasan.
"Apa yang sedang
kau baca dengan penuh perhatian itu ?"
Saya memandang keatas
pada sipenanya, seorang wanita muda yang pada wajahnya terlukis segala bentuk
kejahatan.
"Kau telah membaca
buku itu berhari-hari tanpa menghiraukan bahwa kami hadir disini. Pastilah itu
sebuah buku yang bagus. Tentang apakah gerangan isinya?"
"Apakah anda
benar-benar mau tahu tentang buku ini?"
"Yah, sesuatu
untuk mengisi waktu lowongku," katanya (kuketahui namanya: Kalsoum).
Wanita-wanita lainnya menghentikan kasak-kusuk mereka untuk mendengarkan
percakapan kami. jadi saya mulai bercerita tentang Dia kepada wanitawanita ini.
"Ini adalah sebuah
cermin".
"Bagaimana mungkin
itu cermin? Saya kira itu buku" ujar seorang lain (kuketahui namanya
Khatoon) sambil memandang sekeliling pada kawan-kawannya untuk mendapatkan
dukungan terhadap pendapatnya.
"Baiklah, inilah
sebuah buku yang juga adalah Cermin karena disini kita melihat diri kita
sendiri waktu menghadap Allah yang akan menghakimi seluruh umat manusia."
"Tidaklah
merupakan suatu gambaran yang bagus," kata salah seorang dari mereka
sambil tertawa kasar.
"Anda benar",
jawabku, cermin ini menunjukkan pada kita apa yang kita lakukan yang disebut ‘
Dosa ‘, dosa-dosa kita adalah hal yang buruk di mata manusia apalagi di mata
Allah. Manusia mengutuk dosa-dosa kita dan akan menghukum kesalahan yang kita
perbuat.
Menceritakan
pengampunan yang Tuhan berikan kepada orang berdosa
Tapi Allah itu suci dan
Dia akan lebih mengutuk kita lagi karena dosa kita. Dosa tidak membuat Allah
senang. Dosa menentang Dia, Dia harus mangukum dosa dengan kematian.
Wanita-wanita malang ini memperhatikan benar-benar penjelasanku, seperti
menunggu hukuman baginya. Saya lanjuntukan, "Anda tentunya berpikir,
‘Jadi, tidak ada jalan keluar bagi kita. Kita harus menanggung hukuman bagi
kita,’ Tapi cermin ini menunjukkan pada kita bahwa Allah mempunyai dua jalan
untuk berurusan dengan dosa kita. Jalan yang satu menuju kematian dan jalan
yang lainnya memimpin kita kepada kehidupan dan kita dapat memilih jalan mana
yang akan kita ambil.
Suasana hening
dipecahkan oleh Kalsoum yang bertanya,"Bagaimana caranya cermin itu
melakukan semuanya ini?"
Ditunjukkannya bahwa
Allah sendiri telah menyediakan satu jalan untuk mengampuni dosa kita. Dia sendiri memanggil kita orang-orang berdosa datang
kepadaNya mengakui dosa dan kesalahan kita untuk diampuni. Buku ini
memberitahukan kepada kita, "Marilah
kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan
kepadamu."(Mat 11:27-30).
Saya terkejut atas
reaksi mereka atas firman ini mereka mendengarkan penjelasan ini dengan cermat.
Seorang dari mereka berkata, "Kami tidak menyangkal bahwa kami dibebani oleh
dosa. Itulah sebabnya kita dimasukkan ketempat ini. Tidak ada yang dapat
melepaskan kita dari tanggung-jawab terhadap apa yang kita lakukan."
Saya jelaskan padanya
doktrin pengampunan sebagaimana difirmankan dalam 1 Joh 1 :8-9 : "Jika kita mengaku dosa kita, maka Dia adalah setia
dan adil untuk mengampuni dosa kita dan membersihkan kita dari segala dosa
kita". Beberapa dari antara mereka sangat tergerak oleh firman ini,
terlihat ada airmata dimatanya.
Mereka meminta padaku
untuk mengajar mereka lebih jauh lagi. Jadi diatur, bahwa setiap pagi saya akan
melakukan suatu penelahan Alkitab bersama mereka. Dalam waktu singkat saya
mulai melihat suatu perubahan terjadi pada mereka yang terpancar melalui
kerudung yang kotor. Mereka tidak hanya membagikan daging dan ‘pilaunya’ padaku
atau memberi sehelai selimut bersih untuk tidur.
Hasil terbaik ialah
tujuh dari mereka mengaku dosanya dihadapan Allah dan membenarkan tuduhan yang
selama ini disangkalnya didepan para petugas yang berwajib termasuk si pembunuh
dari propinsi perbatasan barat laut dan dua pencopet. Mereka meyakinkan
kepadaku bahwa mereka tidak akan melakukan kejahatan lagi. "Inilah
pekerjaan yang diperuntukkan bagimu sehingga dimasukkan ke penjara,"
kataku pada diriku sendiri setelah waktu sebulan berlalu dengan berbagai
pengalamannya. Tiga dari mereka dibawa kepengadilan dan pergi dengan bercucuran
air mata karena perpisahan denganku.
Kakaku
mengunjungi aku dipenjara
Namun kemudian sayapun
dipanggil, pintu penjara dibuka, dan saya dibawa keruang duduk pimpinan penjara
dimana saya bertemu dengan Anis yang sangat kuatir menunggu bersama teman kami
yaitu Nyonya yang saya percayai itubeliau berusaha agar sedapat-dapatnya tidak
kelihatan terlibat. Anis segera datang dan memelukku yang masih dalam keadaan
kotor. Lalu ia berpaling ke Nyonya tersebut dan bertanya, "Apa yang telah
dilakukan adikku sehingga dimasukkan kedalam penjara? Apakah ia membunuh
seseorang?"
Adikmu telah berpindah
agama. Ia telah murtad dari Islam. - Tindakan itu, suaranya dipertegas,-
merupakan suatu dosa yang lebih berat dari membunuh!.
"Itu adalah
keyakinan dia pribadi. Ia menemukan kebenaran dan tidak merasa takut untuk
menyaksikannya dan nyonya tidak berhak menjebloskan seseorang karena alasan
itu, kecuali tidak ada lagi undang-undang di Pakistan."
Kawan kami tidak
berkata apa-apa. Ia mengangkat bahunya, "Baiklah, jika anda mau membawanya
pulang, silahkan". Anis berpaling padaku, "Gulshan, sekarang kau
harus pulang bersama."
"Saya tidak suka
melakukannya. Untuk apa saya harus pulang kerumah. Penjara ini lebih baik
bagiku dari dirumahmu."
Kelihatannya,
perasaannya terluka.
"Kenapa kau
berkata begitu?"
"Karena suamimu
menyalah-artikan tentang Yesus dan SalibNya dan saya tidak mau mendengarkan hal
semacam itu. Di penjara ini para wanita itu telah mendengarkanku dan menerima
Yesus. Saya dapat melakukan pekerjaan yang bermanfaat."
Dengan berlinang air
mata kakakku mengelus-elusku. "Engkau sangat mencintai Yesus, saya rela
memberikan hidupku untuk Yesus." Perasaan itu benar, semua yang telah
terjadi hanyalah semakin menambahkan ketetapan iman dan percayaku. Saya telah ditempatkan pada keadaan putus asa yang kelam
dan mengacaukan perasaanku. Namun, dalam kegelapan ada sinar cahaya.
Aku
keluar penjara
Anis berkata,
"Saya juga mencintai Yesus. Saya mau belajar lebih banyak tentang Dia
darimu". Lalu ia menceritrakan padaku apa yang terjadi dengan suaminya.
Tidak lama setelah saya meninggalkan rumah, pada hari yang sama, suaminya
mengalami kecelakaan lalulintas lalu masuk rumah-sakit selama sebulan. Saya
tidak dapat dihubungi waktu itu karena jelas kewajibannya yang utama sebagai
istri ialah mengurus suaminya. Ia melanjutkan," Sekarang ia tidak akan
melakukan sesuatu terhadapmu. Ia telah mengijinkan saya untuk menjemputmu
pulang."
Betapa cepatnya
keberuntungan itu berbalik. Pada suatu ketika saya berada dengan sampah
masyarakat dari kelompok wanita di penjara dan memperoleh kenyataan betapa
manisnya pengalamanku bersama mereka. Dalam waktu satu jam atau lebih sedikit
setelahnya, saya sudah mandi didalam kamar mandi dirumah kakakku yang indah
dikota satelit Rawalpindi, dengan para pelayan yang siap menunggu permintaanku
- sambil mengira-ngira, berapa lama saya gerangan akan menikmati keadaan ini
sebelum saya menerima perintah untuk keluar karena ketidak sanggupanku untuk
berdiam diri tentang iman percayaku.
Sumber: Book THE TORN
VEIL
Catatan:
Perjumpaan dengan Tuhan
secara pribadi membuat dia sembuh total. Sejak lahir Gulshan Fatima tidak dapat
berjalan karena lumpuh, sudah dengan berbagai macam cara dilakukan oleh keluarganya,
sampai harus ke inggris untuk pengobatan namun hasilnya tidak dapat disembuhkan.
Namun karena kerinduannya untuk mendapat kesembuhan, akhirnya Tuhan Yesus
menjawab doanya. Kesembuhannya ini, tidak disukai oleh keluarganya karena yang
menyembuhkannya adalah Tuhan Yesus.
Karena dia tidak mau
menolak Tuhan Yesus sebagai penyembuhnya, maka keluarga mengusir dia dari
rumah. Hal ini dia lakukan tanpa ada sakit hati, karena dia tahu, hidup dia
akan dipelihara Tuhan dan dia juga melepaskan pengampunan kepada keluarganya,
supaya mereka juga mau percaya Tuhan Yesus.
Cara Tuhan itu ajaib,
kakak perempuanya percaya, bahwa keselamatan ada di dalam Tuhan Yesus. Baca
disini bagaimana kakaknya percaya Tuhan Yesus..”Meninggal selama 14 jam lalu hidup lagi”
Bagi anda yang ingin
tahu bagaimana Gulshan Fatima mengalami perjumpaan dengan Tuhan Yesus, baca disini…”
19 tahun lumpuh dapat berjalan”
Kumpulan Kisah Nyata:
No comments:
Post a Comment