Mujizat terjadi ketika
jatuh
Hari ini saya menulis
dengan jempol kaki yang diperban. Sakit, tapi saya harus bersyukur karena itu
adalah luka "minimal" dari kejadian seram yang saya alami tadi pagi.
Ketika bangun, saya berdiri di pinggir terali di ruang tamu. Bentuk rumah saya
memang agak bertingkat, dengan posisi ruang makan yang lebih rendah dari ruang
tamu, berjarak 3 anak tangga. Dan di pinggir terali itu saya merenggangkan
tubuh. Saya mungkin merenggangkan tubuh agak terlalu kebelakang, dan tiba-tiba
dunia serasa berputar.
Saya pun terjengkang ke
belakang dengan kepala yang menghantam meja makan dari kaca terlebih dahulu.
Saya mendengar bunyi pecahan kaca dan saya tahu, saya berada dalam masalah!
Tubuh saya terus terbanting berdebam ke atas kaca dan kemudian berguling jatuh
ke lantai. Entah bagaimana, puji Tuhan, mukjizat ternyata terjadi. Kaca meja
makan ternyata tidak pecah. Jika pecah, mungkin kaca itu akan membelah kepala
saya. Tidak ada lecet di tubuh saya sama sekali, hanya saja kuku jempol kaki
saya ternyata terbelah dan berdarah.
Rasanya tidak ada
logika yang bisa menjelaskan bagaimana kaca tidak pecah ketika dihantam tubuh
saya dari ketinggian yang cukup jauh. Saya bersyukur masih diberikan kesempatan
hidup, meski saya masih gemetar mengingat peristiwa "near death experience"
seperti itu. Tetapi malam ini saya merenungkan seandainya saya tadi pagi
dipanggil pulang, apakah saya sudah siap untuk itu?
Seringkali kita terlena
ketika hidup terasa baik-baik saja. Kita merasa bahwa kita masih punya
kesempatan, jadi sekarang kita masih bisa bersenang-senang melakukan apapun
termasuk hal-hal yang sebenarnya tidak berkenan di mata Tuhan. Bertobat nanti
saja, toh waktu masih banyak. Ada banyak orang yang berpikir demikian.
Menyia-nyiakan waktu
seolah tahu kapan saatnya kita dipanggil pulang lalu harus
mempertanggungjawabkan segala perbuatan dan perkataan yang pernah kita
keluarkan di masa hidup. Kejadian saya tadi pagi menyadarkan saya, dan semoga
bisa menggugah teman-teman juga untuk lebih waspada dalam menyikapi waktu.
Sesungguhnya tidak ada yang tahu berapa lama kita diberikan waktu di dunia ini.
Menyadari
singkatnya hidup manusia
Daud menyadari betapa
singkatnya hidup manusia. "Manusia sama seperti angin, hari-harinya
seperti bayang-bayang yang lewat." (Mazmur 144:4). Masa hidup manusia ini
sesungguhnya sekelebat saja, seperti angin berhembus, seperti bayang-bayang
lewat. Begitulah singkatnya. Dalam doanya Musa mengatakan "Masa hidup kami
tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya
adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang
lenyap." (90:10). Begitu singkatnya, berlalu buru-buru. Hari ini ada,
sebentar lagi melayang lenyap.
Itulah sebabnya kita
harus menghargai waktu yang diberikan, seperti kata Musa: "Ajarlah kami
menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang
bijaksana." (ay 12). Paulus mengajarkan kita untuk mau mempergunakan waktu
yang ada dengan baik. "Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana
kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan
pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat." (Efesus
5:15-16). Dalam surat lain ia berkata "..Tetapi jikalau engkau mendapat
kesempatan untuk dibebaskan, pergunakanlah kesempatan itu." (1 Korintus
7:21). Dan Petrus mengingatkan kita, hendaklah .."waktu yang sisa jangan
kamu pergunakan menurut keinginan manusia, tetapi menurut kehendak Allah."
(1 Petrus 4:2). Semua ini berbicara mengenai menghargai waktu dan kesempatan
yang masih diberikan.
Disamping itu, saya pun
merenungkan makna dari kehidupan ini. Apakah saya sudah menjalankan tugas-tugas
yang diberikan Tuhan? Apakah saya sudah melakukan segala sesuatu sesuai rencana
Tuhan ketika menciptakan saya? Dan yang tidak kalah penting, apakah kehidupan
saya sudah memberi buah? Paulus pernah mencurahkan perasaannya dari dalam
penjara dalam surat Filipi. Ia "sharing" bagaimana ia ditangkap bukan
karena melakukan kesalahan kriminal tetapi justru karena mewartakan kebenaran
tentang Kristus. Ia tidak bersungut-sungut dan mengeluh mengalami perlakuan
tidak adil karena ia tahu benar bahwa kalaupun ia mati, itu bukan kerugian
melainkan keuntungan. "Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah
keuntungan." (Filipi 1:21). Keuntungan? Tentu saja.
Hidup
adalah anugerah
Dalam versi Bahasa
Inggris dijelaskan mengenai keuntungan ini, yaitu "the gain of the glory
of eternity." Bagi orang-orang yang tetap setia dan taat hingga akhir,
semuanya akan pergi ke tempat dimana .."Ia akan menghapus segala air mata
dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi
perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama
itu telah berlalu." (Wahyu 21:4). Sebuah tempat yang telah disediakan langsung
oleh Yesus Kristus. (Yohanes 14:2-3). Dan Paulus tahu bahwa apabila ia tetap
menjalani hidup seperti yang dikehendaki Tuhan, maka sebuah tempat yang
disediakan Kristus pun akan tersedia pula baginya. "Karena kami tahu,
bahwa jika kemah tempat kediaman kita di
bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu
tempat kediaman yang kekal, yang tidak
dibuat oleh tangan manusia." (2 Korintus 5:1).
Itulah yang ia sebut
sebagai "keuntungan". Tetapi jika ia masih diberikan kesempatan untuk
hidup, maka sisa hidup itu haruslah diisi dengan sesuatu yang bermakna,
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sanggup menghasilkan buah demi kemuliaan
Allah. "Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja
memberi buah." (Filipi 1:22a). "Jadi mana yang harus kupilih, aku
tidak tahu." lanjut Paulus. Kalau mati, itu artinya lepas dari penderitaan
dan masuk ke dalam kemuliaan bersama dengan Allah selamanya, tetapi kalaupun
memang masih harus hidup, maka hidup haruslah diisi dengan segala sesuatu yang
mampu memberikan buah. Itulah yang seharusnya menjadi dasar pemikiran kita
dalam menjalani hidup dari hari ke hari. Maka sembari menulis saya pun
merenungkan hal yang sama.
Ketika saya masih
diberi kesempatan untuk hidup lewat mukjizat luar biasa tadi pagi, sudahkah
saya bekerja memberi buah yang cukup, dan akankah saya terus bekerja untuk
menghasilkan lebih banyak buah lagi?
Berbuah
selagi kita masih hidup
Ada rencana Tuhan yang
besar bagi setiap kita. Ada tugas-tugas yang dibebankan Tuhan kepada kita.
Hendaknya kita menjalankannya dengan hasil gemilang, sehingga kelak ketika kita
mempertanggungjawabkan semua itu di hadapan Tuhan kita bisa melakukannya dengan
kepala tegak. Lewat peristiwa "near death experience" yang saya
alami, hari ini saya menyadari betapa berharganya waktu yang dipercayakan Tuhan
kepada saya, dan saya bertekad untuk
mengisi sisa waktu yang masih ada untuk menghasilkan buah demi memuliakanNya.
Itulah sebabnya dalam
keadaan sakit pada jempol kaki dan kepala yang masih pusing, saya tidak
memutuskan untuk beristirahat. Saya masih bersemangat menulis renungan ini
dengan penuh rasa syukur dan sukacita. Kita tidak pernah tahu berapa lama lagi
waktu yang diberikan, bisa lima puluh tahun, sepuluh tahun, sehari bahkan
semenit lagi. Oleh karena itu marilah
kita belajar untuk lebih menghargai waktu dan mengisinya dengan segala sesuatu
yang berharga, menghasilkan buah-buah manis yang berkenan bagi Tuhan.
Jika masih harus hidup,
itu untuk bekerja menghasilkan buah. Sudahkah kita berbuah?
Sumber: http://renungan-harian-online.blogspot.com
Kumpulan Kisah Nyata:
Rahasia Kerajaan Sorga Terungkap "Kesaksian"
No comments:
Post a Comment