Skip to main content

Kakekku berhenti merokok

Kakek saya dari pihak ibu telah mengisap rokok hampir di sepanjang kehidupannya. Saya ingat ketika masih kanak-kanak, saya mendengar batuknya yang kuat dan kadang-kadang membuatnya tidak dapat bernapas. Saya mengkhawatirkannya. Saya tidak ingin ia meninggal tanpa menerima kasih dan pengampunan serta keselamatan dari Juru Selamat.

Jadi, pada suatu kesempatan yang sangat jarang, yakni ketika orang tua saya mengizinkan saya dan saudara saya tinggal di rumah bersama kakek sementara mereka menghadiri kebaktian gereja Minggu sore, saya mengerahkan keberanian untuk mengajukan sebuah pertanyaan yang terus-menerus ada dalam benak saya: "Kakek," saya bertanya dengan takut-takut, "apakah kakek berpikir bahwa kakek akan pergi ke surga kalau nanti kakek meninggal?"

Dia berhenti merokok dan mengetukkan ujung rokok di asbaknya yang sudah penuh abu, dan menjawab dengan suara datar dan parau, "Oh, aku harap aku akan ke sana."

"Apakah kakek memiliki Yesus dalam hati kakek?" tanya saya dengan harap-harap cemas.

"Jangan khawatir," jawab kakek saya dengan tersenyum. "Kupikir Dia akan membiarkan aku."

Ketika kembali bersandar di sofa, hati saya tidak tenang. Sepanjang yang dapat saya ingat, saya berdoa untuknya setiap malam sebelum tidur. Apakah Yesus menjawab doa saya?

Pada waktu saya berumur sekitar 15 tahun, kakek saya memutuskan untuk berhenti merokok. Pada suatu hari, kakek bercerita kepada nenek bahwa ia telah menyingkirkan semua bungkus rokoknya dan tidak akan pernah merokok lagi. Namun, pengaruh rokok terhadap tubuhnya karena kebiasaan yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun itu tidak dapat diperbaiki. Tidak lama setelah keputusannya yang mengejutkan untuk lepas dari tembakau, kakek pun didiagnosis terkena kanker. Saya masih berdoa untuknya, dan sekarang saya punya waktu yang terbatas, 6 bulan.

Kakek masih menolak untuk menerima pertolongan yang ditawarkan Sang Juru Selamat. Teman-teman dan keluarga berbicara kepadanya tentang realita kebutuhan rohaninya. Namun, dia menolak mereka dengan sikap yang sama, yang pernah ia lakukan ketika saya dulu bertanya kepadanya. Saya takut dengan penolakan kakek pada waktu itu, ketika takdir kekalnya berada tepat di persimpangan, bahwa ia akan terhilang selamanya. Akan tetapi Yesus, Penolong yang murah hati, akan melakukan usaha apa pun untuk mencegah hal itu terjadi.

Masa 6 bulan yang ditentukan bagi kakek telah berlalu. Kakek merespons pengobatan dengan baik, tapi kekuatannya pelan-pelan melemah. Setelah beberapa kali dirawat di rumah sakit karena pneumonia (radang paru-paru), kakek mulai menghadiri gereja kapan saja ia merasa kondisinya memungkinkan untuk pergi. Di sanalah ia bertemu dengan Benjamin, seorang anak laki-laki yang memberi perhatian khusus kepada kakek dan sering memeluk dan menciumnya. Kakek mulai membawakan permen untuk Benjamin, dan hal itu memperkuat hubungan mereka. Dua teman sedang membangun hubungan.

Suatu saat ketika Benjamin tahu bahwa kakek kembali dirawat di rumah sakit karena pneumonia, ia menjadi gelisah dan meminta orang tuanya membawanya menjenguk Kakek Wold. Kakek hanya dirawat sebentar. Jadi, ketika Benjamin datang menjenguk, kakek sudah ada di rumah. Di ruang tamu itulah, dalam keadaan lelah dan lemah karena sakit, kakek saya menangis saat Benjamin bertanya apakah dia sudah memiliki Yesus di dalam hatinya. Kakek menjawab bahwa dia belum punya Yesus, dan Benjamin mendorong kakek supaya ia meminta Yesus menjadi Juru Selamatnya. Kakek pun setuju, dan Benjamin memimpin kakek saya dalam sebuah doa singkat yang mengundang Yesus untuk datang ke dalam hati kakek dan mengampuni dosa-dosanya.

Setelah doa tersebut, kakek berbicara dengan bebas mengenai imannya di dalam Yesus. Kesombongannya berubah menjadi iman.

Kasih sayangnya yang bertahun-tahun dijaga dengan hati-hati, kini mengalir dengan bebas. Dan, dia menyebutkan dari waktu ke waktu bahwa ia menyesal telah menunggu begitu lama untuk menerima kelegaan dari pengampunan Yesus dan menerima kelepasan dari kasih-Nya.

Beberapa tahun kemudian, tepat sebelum meninggalkan rumah untuk tahun terakhir saya di universitas, saya mengatakan sesuatu yang ternyata merupakan ucapan selamat tinggal saya yang terakhir kepada kakek. Hampir 7 tahun sejak kakek didiagnosis terserang kanker, sekarang waktunya di dunia ini sungguh-sungguh hampir berakhir. Dengan penuh kesedihan, saya berbisik di telinganya sambil memeluk tubuhnya yang lemah, "Selamat tinggal, Kek. Saya mengasihi Kakek. Saya akan melihat Kakek lagi di surga." Beberapa minggu kemudian, Juru Selamat menyelamatkan kakek dari kanker dan membawanya pulang ke rumah-Nya.

Sebagai orang yang menunggu untuk diselamatkan sampai saat terakhir hidupnya di dunia, kakek saya tidak ingin orang lain yang ia kenal melakukan hal yang sama seperti yang telah ia lakukan. Dengan tenang, ia mengingatkan bahwa orang-orang yang menolak terlalu lama akan kehilangan selamanya. Dan, sebagai orang yang diselamatkan menjelang akhir hidupnya, dia menginginkan saya memberi tahu Anda: saat ini adalah waktu terbaik yang pernah ada untuk mengundang Juru Selamat -- Juru Selamat yang dapat menenangkan laut yang bergolak, angin ribut, dan menyelamatkan jiwa-jiwa yang terhilang.
Sumber: Buku If Jesus Loves Me, How Do I Know?

Kumpulan Kisah Nyata:


Comments