Ronny Pattinasarany
Kesaksian, merasa sedih kalau timnya kalah,
tetapi rasa pedih saat kedua puteranya menjadi pecandu narkoba, benar-benar
menikam jatungnya. Ia memutuskan berhenti melatih dan mendampingi mereka sampai
sembuh.
Sibuk Melatih
Kesibukan melatih tim sepak bola
Petrokimia Grasik pada tahun 2000 membuat saya jauh dari anak-anak. Jarak yang
jauh membuat saya hanya sekali pulang ke jakarta untuk melihat keluarga. Di
jakarta pun tidak lama, hanya dua-tiga hari.
Suatu waktu saya pulang ke Jakarta
ketemu keluarga. Kesempatan itu saya pakai untuk menghabiskan waktu bertemu
Yerry dan putra kedua Ronny. Saya cukup dekat dengan Yerry karena saya merasa
darah olahraga mengalir dalam tubuh Yerry. Pada saat itu dia adalah petenis
junior.
Pengakuan keluar dari mulut anaknya,
“Pak saya udah ga kuat lagi”, saya heran. Apa maksud Yerry berkata seperti itu.
Yerry mengakui bahwa dia telah kecanduan putaw. Mendengar itu saya biasa saja
karena mengira putau adalah sejenis minuman keras.
Dua anak saya kecanduan
Saya datangi dokter untuk memeriksa
kondisi Yerry dan bertanya apa itu putaw. Saya tekejut. Bagaimana mungkin anak
seusia Yerry bisa mengkonsumsi narkotika jenis putaw. Pada saat itu Yerry
berumur 15 tahun dan masih duduk di bangku SMP.
Saya tidak bisa menyalahkan Stella
(Maria) isteri saya merawat anak-anak. ini kesalahan kami berdua. Saya terlalu
sibuk dengan melatih. Berbagai cara saya lakukan menyembuhkan Yerry dengan
membawanya beronbat ke pusat rehabilitasi. Walaupun demikian saya tetap
meneruskan pekerjaan saya sbagai pelati di Gersik. Karena hanya itu pekerjaan
yang bisa saya lakukan. Saya serakan perawatan Yerry kepada ibunya.
Tak disangka keadaan Yerry semakin
memburuk. Dia tidak berhenti mengkonsumsi putaw. Rahabilitasi sepertinya tidak
bisa menyembuhkan kecanduan dalam diri Yerry. Saya pikir, saya harus ambil
keputusan; karier atau keluarga? Meskipun sangat berat, saya terpaksa kembali
ke Jakarta. Saya kembali bukan sebagai mantan pesepak bola nasional yang sukses
dengan gelar olahragawan terbaik, tetapi sebagai seorang ayah yang anaknya
sedang kecanduan narkoba.
Tidak tahu harus kerja apa di
Jakarta, saya putuskan akan mendampingi Yerry. Mereka adalah titipan Tuhan
kapada kami. Sekembali saya ke rumah, saya bingung. Apakah mengirim Yerry
kembali ke tempat rahabilitasi lagi atau tidak? Dia sudah pernah masuk ke sana
dan ternyata kembali lagi. Saya putuskan berjuan bersama Yerry tanpa harus ke
pusat rehabilitasi. Tetapi keadaan makin parah karena ternyata Benny, abangnya,
juga mengkonsumsi putau. Prosesnya makin sulit karena saya tidak punya
penghasilan.
Keadaan di rumah semakin kacau ketika
satu demi satu barang-barang yang ada dirumah hilang. Mereka tidak segan-segan
menggadaikan atau menjual barang-barang untuk beli putau. Bahkan Benny dan
Yerry hadir dalam acara keluarga. saudara-saudara kami langsung berusaha
melindungi tas milik mereka. Mereka mencap anak-anak sebagai pencuri, karena
mereka tidak tahu Benny dan Yerry “pemakai”. Walaupun demikian saya tetap
memutuskan mendampingi mereka, apapun yang terjadi.
Berserah pada Tuhan
Pernah suatu hari Yerri sukau. Karena
tidak tahan melihatnya menderita saya antar dia ke bandar narkoba. Karena tidak
kuat lagi, saya beli ke bandar, setelah itu saya menyaksikan anak saya
menggunakannya dengan cara menyuntik tangannya. Pada saat memakai “barang” itu,
saya menangis. Satu sisa saya melihat anak saya keluar dari penderitaan sukau
itu, tetapi di sisi lain saya seolah-olah membunuh anak saya secara perlahan.
Rasa saya kami tidak berkurang
sedikit pun. Tak jarang saya mencari mencari mereka menunggu di pinggir jalan.
Pada saat melihat mereka pulang dalam keadaan ngefly kami tetap menyuruh mereka
makan terlebih dahulu. Pernah suatu saat Yerry mau bunuh diri. Dia tulis surat
yang dia letakan dibawah bantal di dalam kamar dengan pesan agar papa dan mama
tidak saling menyalahkan. Ketika itu dia sudah minum satu gelas baygon. Dia
tersadarkan ketika saya bangunkan. tapi anak saya masih diberikan kesempatan
untuk sembuh.
Saya terus berdoa walaupun sebelumnya
jarang sekali melakukannya, bahkan untuk ke gereja. Saya bertanya kenapa saya
bisa begitu? Di situlah saya sadar telah salah langkah. Saya seperti
diingatkan, “mengapa mengandalkan dokter. Kamu lupa masih ada dokter diatas
segala dokter, yaitu Tuhan.’ Saat itu saya merasa Tuhan menyertai kami. Mulai
saat itu saya sadar dan mengandalkan Tuhan. Karena kalau saya mengandalkan
Tuhan saya tidak akan menyerah! Saya mulai memperbaiki hubungan saya dengan
Tuhan. Saya menyadari bahwa Tuhan tidak langsung menjawab doa kami. Saya selalu
menunggu waktu Tuhan dan bertanya tidak lama lagi kesembuhan itu akan terjadi.
Kami terus berharap Tuhan akan
menjawab doa kami. Saat mereka sedang narmal saya tidur dengan Yerry atau
Benny. Sebelumnya kami berdoa dan bernyanyi. Tak pernah saya lupa untuk berdoa
setiap pagi dengan memohon kesehatan dan kesabaran, karena pada dasarnya saya
seorang yang emosional.
Telepon itu
Tetapi setiap hari cobaan terasa
semakin berat. suatu saat, jam dua malam Yerry menggigil kesakitan karena
sukau. Tidak ada uang satu sen pun. Kami berdua menangis dan berdoa menunggu
pagi untuk meminjam uang pada tetangga. Inilah proses Tuhan bekerja. Ketika
saya hendak berangkat untuk kembali putaw telpon rumah berdering. Untuk Yerry.
entah apa yang mereka bicarakan, tapi setelah menutup telpon Yerry meminta
Alkitab.
Heran melihat Yerry meminta Alkitab.
Sebelumnya dia tidak pernah pengang dan membacanya. Setelah itu Yerry
membatalkan rencana saya untuk membeli putaw. Padahal sebelumnya dia merengek
memaksa saya untuk membelinya. Keesokan harinya Yerry meminta saya untuk
mengantar dia kerumah Pendeta Herry. Ternyata dialah yang menelepon Yerry
kemarin. Sampai di sana diserahkan dompet dan juga rokok yang dia bawa. Yerry
mau tinggal dirumah pendeta tersebut.
Selang beberapa hari benny pun
menyusul Yerry untuk tinggal dirumah Pdt. Harry. Kami menjenguk mereka berdua 3
hari Benny dan Yerry tinggal di sana. Proses penyembuhan Tuhan luar biasa.
Mereka tidak merasa lagi ketagihan dan yang mereka lakukan berdoa dan memuji
nama Tuhan. Saya percaya Tuhan memiliki rencana terindah untuk keluarga kami.
Dan Ia sudah tunjukan melalui kesembuhan Benny dan Yerry.
Asal mula narkoba
Demi memperoleh jenis obat baru,
Heinrich memang mengutak-atik diasetilmorfin, saudara dekat mormin. Ketemulah
obat bentuk yang bersifat menenangkan (sedatif) dan menghilangkan rasa sakit.
Diberinya nama heroisch yang berarti heroik, dan dikampanyekan dapat
menyembuhkan bronkhitis, asma serta tuberculosis. Memang berkhasiat. Dalam
tempo singkat saja produk ini merambah 12 negara di luar Jerman.
Tetapi keanehan mulai nampak. Rumah
sakit mencatat permintaan terhadap “sang penangkal bentuk” ini melesat tinggi
meskipun pasien mereka tidak memiliki keluhan pada saluran pernapasan. Sejumlah
ilmuwan dan ahli kimia kemudian mendeteksi diasentilmorfin yang dikandung
heroin ternyata lebih keras dibandingkan morfin kerabatnya itu. Ini membuat
orang merasa melayang-layang di awan. Celakanya, zat itu membuat orang
tergantung dua sampai empat kali lipat. Saat memasuki metabolisme tubuh, heroin
mengalir ke otak, sehingga menyebabkan euforia.
Hari ini, heroin yang berasal dari
Poppi Opium, sejenis bunga yang tumbuh di iklim kering dan panas itu dapat
ditemukan dapat ditemukan dalam bentuk opium, morfin, dan kodein. Tetapi ia
menjadi laknat karena menyebabkan ketergantungan dan merusak mental
berjuta-juta orang. Masuk dalam kelompok
laknat ini adalah ganja, shabu, putaw dan zat-zat lain yang berkaitan
dengannya.
Ternyata zat-zat adiktif yang
mempengaruhi kerja saraf otak itu kini menjadi industri rumah tangga. Karena
rumahan, gampang sekali barang haram ini di dapatkan. Mau dilayani bandar besar
yang wangi dan naik mercy atau si paiman yang bau keringat bersepeda menyusuri
lorong-lorong, tinggal pilih.
Harganya pun disesuaikan kantong
anda. Putau, jenis narkoba yang sangat adiktif dapat dibeli enceran dalam
satuan kecil “pahe”, paket hemat seharga Rp 10 ribu, bisa didapatkan, kesaksian
dari seorang bekas narkoba. Kesaksian ini diambil dari Majalah
Rohani BAHANA
Kumpulan Kisah Nyata:
No comments:
Post a Comment