Sudah berapa kali Anda merayakan Natal? Anda dapat
menghitungnya bukan? Namun, apakah anda telah memberi makna yang tepat dalam
setiap perayaan memon bersejarah itu? Jangan-jangan kita telah kehilangan makna
Natal yang sejati!
Sebagai seorang anak kecil, datangnya Natal selalu
ditunggu-tunggu. Mengapa begitu? Karena ketika Natal tiba akan mendapatkan
sesuatu yang baru: baju baru dan barang-barang lain yang serba baru. Kala itu,
Natal identik dengan mendapatkan hadiah. Karena itulah selalu bermimpi Natal
dirayakan setiap hari agar hadiahnya makin banyak.
Bagi aktivis gereja, Natal mungkin identik dengan kegiatan
super. Akibatnya menjadi super sibuk. Latihan ini dan itu. Menghafal naskah
drama. Latihan paduan suara dan sebagainya. Mal pun tidak ketinggalan menyambut
Natal. Bagi mereka, Natal adalah mengumandangkan kidung Natal. Menjual
aksesori-aksesori Natal. Gebyar Natal menggema memenuhi mal.
Bagaimana dengan pelaku bisnis? Bagi pebisnis biro perjalan misalnya, Natal dikaitkan dengan ramainya perjalanan wisata. Banyak orang yang melakuklan ziarah atau wisata rohani ke berbagai tempat. Yang bergerak dalam bisnis perhotelan mungkin memaknai Natal dengan banyaknya tamu hotel. Hotel yang dipenuhi para tamu yang sedang menjalankan “ritual Natal. Lain lagi para pekerja. Pekerja perusahan mungkin saja memaknai Natal dengan Tunjangan Hari Raya (THR).
Akan tetapi, pertayaan mendasar yang perlu diajukan adalah
seandainya hal-hal diatas tidak ditemui dalam Natal, masikah disebut Natal?
Masih adakah makna Natal tanpa embel-embel tersebut? Masikah disebut Natal
tanpa menerima SMS atau kartu Natal? Masikah disebut Natal tanpa lagu Malam
Kudus atau pohon terang?
Kasih Allah
Semoga Natal tidak kehilangan makna tanpa hal-hal yang telah
disebutkan tadi. Memang gebyar itu diperlukan. Tentu kita tahu suatu perayaan
tanpa gebyar nampaknya kurang greget. Situasi menjadi datar dan kurang
menantang. Namun, kita perlu ingat peristiwa Natal yang pertama. Yesus
dilahirkan bukan di tempat istimewa. Yesus lahir di palungan (tempat makan
ternak) kandang Betlehem.
Sesungguhnya, Natal
berbicara tentang kasih Allah. Mengapakah Allah Bapa mengirimkan putra tunggal-Nya? Tentu,
bukan tanpa alasan. Bukan tanpa maksud. Bapa adalah Allah yang tahu tujuan dan
maksud agung-Nya. Yohanes menuliskan hal fundamental tentang maksud Bapa. “karena
begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan
Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak
binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal.”(Yoh. 3:16).
Keselamatan dan hidup yang kekal merupakan anugerah Allah.
Anugerah yang sangat berharga. Anugerah tersebut tidak dapat di beli dengan
uang, juga tidak dapat dicapai dengan kemampuan manusia. Hidup kekal tidak
tidak dapat diberikan oleh keyakinan apa pun. Hidup kekal adalah anugerah Allah didalam Yesus Kristus Tuhan kita.
Melalui peristiwa Natal, manusia diberikan kepastian untuk hidup kekal itu.
Asal percaya kepada-Nya, hidup kekal telah tersedia. Hal ini yang membuat
manusia bersukacita.
Sukacita abadi yang tak tergantikan oleh apa pun. Mengapa
demikian? Jelas, ketika kita meninggalkan dunia suatu hari kelak, kita tahu
pasti ke mana tujuan kita. Pada suatu kesempatan seorang nenek ditanyai ke
manakah ia setelah meninggal? Disertai ketidakpastian sang nenek mengatakan
tidak tahu. Namun, Injil Yohanes menegaskan jaminan keselamatan yang Tuhan
sediakan. Seseorang boleh kehilangan
apa pun. Segala sesuatu dapat berubah karena tidak ada yang kekal di dunia ini.
Namun, sangat berbahaya bila seseorang tidak menerima anugerah keselamatan.
Kesederhanaan
Para penguasa di berbagai belahan dunia selalu memilih tempat
terbaik untuk kelahiran anaknya. Mungkin saja di kota terkenal, dokter ternama,
rumah sakit bergensi, dan hotel penginapan berkelas. Namun, ketika Putra Allah
lahir semua itu tidak kita jumpai. Sejarah mencatat, tidak ada tempat yang
lebih hina dari tempat kelahiran Juruselamat, dia lahir di tempat yang tak
terduga. Tempat yang tidak pantas untuk lahirnya Raja di atas segala raja.
Bukankah tempat tersebut sebuat kota kecil? Namun, semua itu harus terjadi
seperti nubuatan Nabi Mikha. Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang
terkecil diantara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang
yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak
dahulu kala (Mik. 5:1).
Kesederhanaan Natal membuat manusia yang hina jadi mulia.
Paulus pun menuliskannya kepada jemaat di Korintus. “Karena kamu telah
mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena
kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena
kemiskinan-Nya.” (2 Kor. 8-9). Dampak Natal menjadi luar biasa bagi mereka
yang mempercayainya. Tentu bukan Natal itu sendiri melainkan pribadi di balik
peristiwa Natal tersebut. Pribadi itu adalah Tuhan yang menciptakan lagit,
bumi, dan segala isinya.
Dalam buku Mencari Natal yang Hilang (Gloria Graffa, 2003),
Eka Darmaputera menyebutkan kesederhanaan Natal. Tempat kelahiran-Nya
sederhana, sebuah kadang kecil disebuah kota yang kecil pula. Perayaannya juga sederhana: para gembala, para
pekerja keras meninggalkan pekerjaan mereka selama beberapa jam untuk pergi dan
“melihat apa yang terjadi di sana” (Luk. 2:15). Setelah itu, mereka pun kembali
kepada tanggung jawab masing-masing.
Persembahan yang mereka berikan pun begitu sederhana, namun
tak ternilai. Apakah persembahan yang diberikan?
a Yusuf mempersembahkan ketaatannya.
b Maria mempersembahkan tubuhnya.
c Para gembala mempersembahkan kasih yang mendalam.
d Para orang majus mempersembahkan penyembahan mereka.
Akan tetapi, pada saat yang sama ada pula orang-orang yang
kehilangan makna Natal yang pertama. Siapakah mereka?
a Pemilik penginapan yang terlalu sibuk memperhatikan
tamunya.
b Para tamu yang terlalu memusatkan perhatian pada kenikmatan
jasmani dan urusan pribadi, sehingga tak tersentuh oleh peristiwa yang terjadi
di kadang domba itu.
c Raja herodes yang begitu larut dalam perasaan tidak nyaman,
istanya, dan impian-impiannya yang menyedihkan untuk menggapai kemuliaan.
Orang-orang terlalu sibuk, begitu terpaku, dan terlilit oleh
berbagai hal. Maka mereka tidak dapat menghayati makna peristiwa bersejarah
itu.
Mulai Bertanya
Sebagai orang percaya, kita perlu menanyakan apakah dalam
tahun-tahun terakhir ini kita juga telah kehilangan makna Natal yang
sesungguhnya?
Apakh kita terlalu sibuk dan dikuasai oleh hal-hal materi dan
pujian manusia?
Apakah kita terancam kehilangan makna Natal yang sejati?
Memang Tuhan tidak menghendaki kita mengurangi kesenangan di
hari Natal. Lagi pula, Dia sendiri telah “memberikan kepada kita segala sesuatu
untuk dinikmati” (1Timotius 6:17). Namun, Dia menghendaki agar makna Natal itu
meresap kuat dalam hidup kita melebihi segala macam perayaan. Bagaimana dengan
anda? Sudahkah mengalaminya?
Sumber: Majalah Bahana/Edisi Des.09
Natal di Hatiku
Kumpulan Kisah Nyata:
No comments:
Post a Comment