Kesaksian, cita-cita menjadi
sutradara, ginjal saya ada batu sehingga harus dibuang, saya hidup kembali,
kesalahan diagnosa dan operasi cangkok ginjal. Dengan kesaksian ini dapat
mengingatkan kita untuk selalu mengucap syukur dan berserah kepada Tuhan.
Cita-cita
menjadi sutradara
Perkenalkan nama saya
DM. Saya adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Saya dibesarkan oleh orang
tua saya dengan perhatian yang sangat berlebihan karena sebelum kelahiran adik
terkecil, saya satu-satunya anak lelaki dalam keluarga saya.
Tetapi setelah ibu saya melahirkan anak yang ketujuh, yang ternyata adalah seorang laki-laki, maka perhatian berlebih yang selama ini diberikan kepada saya terbagi juga pada adik saya. Mungkin, hal inilah yang menyebabkan saya selalu berbuat sesuatu untuk menarik perhatian orang tua, agar mereka memerhatikan saya seperti semula. Namun sayang, perbuatan-perbuatan yang saya lakukan sejak masa kecil hingga dewasa adalah perbuatan yang negatif dan saya suka membuat onar. Merasa diperlakukan secara berbeda oleh orang tua, saya memutuskan meninggalkan kampung halaman dan hidup sendiri tanpa bantuan orang tua.
Tetapi setelah ibu saya melahirkan anak yang ketujuh, yang ternyata adalah seorang laki-laki, maka perhatian berlebih yang selama ini diberikan kepada saya terbagi juga pada adik saya. Mungkin, hal inilah yang menyebabkan saya selalu berbuat sesuatu untuk menarik perhatian orang tua, agar mereka memerhatikan saya seperti semula. Namun sayang, perbuatan-perbuatan yang saya lakukan sejak masa kecil hingga dewasa adalah perbuatan yang negatif dan saya suka membuat onar. Merasa diperlakukan secara berbeda oleh orang tua, saya memutuskan meninggalkan kampung halaman dan hidup sendiri tanpa bantuan orang tua.
Saya bercita-cita untuk
menjadi sutradara besar. Oleh sebab itu saya belajar sinematografi di pusat
perfilman H. Usmar Ismail di Kuningan, Jakarta. Saya mulai berkiprah dalam
bidang perfilman nasional. Beberapa pekerjaan telah berhasil saya lakukan
dengan baik, seperti menjadi koreografer dalam "hair cutting" Rudy
Hadisuwarno, lalu bekerja sama dengan sutradara terkenal Teguh Karya dalam film
"Dosa Tanda Mata", "Serpihan Mutiara Retak" karya Wim
Umboh, film "Cinta di Balik Noda", dan banyak lagi perkerjaan
lainnya. Semua itu telah membuat saya tidak saja hidup serba enak dan
berlebihan, tetapi juga telah membuat hidup saya bergelimang di dalam dosa.
Sekalipun tanpa bantuan
orang tua, ternyata saya telah membuktikan bahwa saya mampu menjadi seorang
yang berhasil. Namun, di tengah keberhasilan tersebut saya selalu merasakan
ketidaktentraman dalam jiwa saya. Pada suatu hari, ketika saya sedang
menghadapi pergumulan di dalam pekerjaan yang penuh dengan persaingan, saya
mulai tertarik mengatasi masalah dengan memanfaatkan jasa dari paranormal.
Tetapi sekitar tahun 1983, sebelum saya sempat berhubungan dengan dukun-dukun
tersebut, saya tertarik pada sebuah buku yang berjudul "Bagaimana
Mengalahkan Iblis". Setelah membaca buku yang ditulis oleh Mark Bubbeck
tersebut, ternyata isinya bukan tentang bagaimana cara menyantet para pesaing
dalam pekerjaan, melainkan tentang penginjilan. Buku itu telah menegur saya
karena ternyata manusia itu bukanlah terdiri dari tubuh dan jiwa saja,
melainkan terdiri juga dari roh. Jika roh saya terpisah dari Tuhan, maka saya
akan mengalami kematian yang kekal.
Ini
aku, utuslah aku
Melalui pergumulan panjang,
akhirnya saya memutuskan untuk mengundang Yesus masuk ke dalam hati saya dan
menjadi Tuhan sepanjang hidup saya. Hasilnya, bukan saja hidup saya telah
diubah menjadi sukacita dan penuh pengharapan, sekalipun saya berada di
tengah-tengah lapangan untuk pengambilan gambar film "Satu Mawar Tiga
Duri" dengan Franky Rorimpandey, namun hati saya lebih tertarik untuk
selalu berdiam di dalam gereja. Ketika saya mengikuti sebuah ibadah di daerah
Jakarta Pusat, sebuah firman tertanam kuat di dalam hati saya "Siapakah yang akan Kuutus, dan
siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku "Ini aku, utuslah
aku!" Tidak berapa lama kemudian, firman tersebut selalu
membayang-bayangi diri saya, akhirnya saya membuat keputusan yang radikal.
Tahun 1984, saya berangkat ke desa kecil di Jawa Timur untuk belajar Alkitab di
sebuah seminari teologi.
Pada tahun 1988,
setelah menyelesaikan studi, saya kembali ke Jakarta untuk memulai tugas saya
untuk mencari jiwa-jiwa bagi Tuhan. Tuhan telah menempatkan saya sebagai
pendeta dalam sebuah jemaat lokal di daerah Pamulang, Tangerang. Berbagai
peristiwa yang indah telah diizinkan Tuhan terjadi dalam hidup saya. Pada tahun
1999, Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat mengundang saya dan Dr.
Octavianus untuk menghadiri pertemuan di sela-sela makan pagi yang diadakan
oleh Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton di Gedung Putih, Washington D.C..
Dalam pertemuan yang dihadiri juga oleh Hillary Clinton dan istri mendiang
Yitzhak Rabin, Lea Rabin, serta Yaser Arafat, dan Fidel Ramos tersebut tidak
saja kami membicarakan tentang situasi politik di dunia tetapi juga mendoakan
Presiden Bill Clinton yang sedang saat itu mengalami proses pemakzulan. Tuhan
juga mengizinkan saya mengelilingi kota-kota besar di Amerika, Eropa, dan Asia.
Ginjal
saya ada batu sehingga harus dibuang
Ketika Tuhan memberikan
kesempatan kepada saya untuk melakukan tugas-tugas pastoral, hingga maju dengan
pesat, ternyata Ia juga memberikan ujian bagi diri saya, apakah saya hanya
setia dalam perkara yang baik, atau apakah saya akan tetap setia sekalipun
dalam lembah bayang-bayang maut. Di awal tahun 2000, saya merasakan ada sesuatu
yang lain dalam tubuh saya. Setelah diperiksa oleh seorang dokter di Jakarta,
ia mendiagnosa bahwa terdapat batu dalam ginjal sebelah kiri saya. Dokter itu
menyarankan pada saya bahwa jalan terbaik adalah membuang ginjal beserta batu
yang ada di dalamnya. Dan menurut dia, seseorang tetap bisa hidup normal dengan
satu ginjal saja.
Saya harus menjalani
cuci darah 2 hari sekali selama 1 tahun 4 bulan sebanyak hampir 200 kali.
Orang-orang yang pernah menjalani cuci darah bersama saya satu per satu
meninggal di depan mata saya; sungguh saya sudah berada dalam antrian kematian.
Pada bulan Mei 2000, pada saat keadaan saya sudah semakin kritis, saya kembali
dirawat di rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa kreatinin saya saat itu naik
menjadi 21 mg/dl hingga 23 mg/dl, yang normalnya sekitar 1,1 mg/dl. Ureum dalam
darah saya naik menjadi 350 mg/dl, sementara batas normalnya hanya sekitar 50
mg/dl. Ketika Bapak Handoyo Gunawan dan kawan-kawan datang menjenguk saya di
rumah sakit, mereka terkejut melihat keadaan saya, dan mereka tidak dapat
berkata-kata lagi selain mendoakan saya. Saya berterima kasih atas perhatian
dan kebaikan mereka.
Saya
hidup kembali
Setelah teman-teman
meninggalkan rumah sakit, dokter dan para perawat menyaksikan bahwa detak
jantung saya di layar monitor telah berjalan dengan datar, itu tanda yang
menyatakan bahwa saya sudah "pergi" untuk selamanya. Saat itu, saya
merasa bahwa badan saya seperti terangkat ke atas dan saya dapat melihat tubuh
saya yang terbaring didampingi oleh istri saya yang sedang pasrah dengan
keadaan saya. Dalam keadaan seperti itu saya hanya dapat mengatakan kepada
Tuhan bahwa "sampai nafas terakhir,
jadikan saya hamba yang setia pada Tuhan". Tekanan darah saya pada
waktu itu sudah di nol per nol selama 9 menit, tetapi Tuhan menghembuskan nafas
hidup kembali ke dalam hidung saya, dengan ginjal yang tidak berfungsi dengan
baik, saya hidup kembali.
Kesalahan
diagnosa
Beberapa hari kemudian
saya memutuskan untuk berangkat ke rumah sakit di Singapura. Setelah diperiksa
oleh dokter, mereka memberikan peryataan yang sangat mengagetkan kami semua.
Dokter itu mengatakan bahwa jika seandainya sekitar 6 bulan yang lalu, sebelum
dioperasi, saya datang kemari, batu yang berada di ginjal sebelah kiri
tersebutlah yang perlu dibuang dan bukan ginjalnya. Dikatakan lebih lanjut,
sebenarnya saya bukan gagal ginjal tetapi kesalahan diagnosa (human error).
Mendengar pernyataan dokter tersebut, hati saya menjadi emosi, kecewa, dan
marah dengan tindakan dokter yang kurang teliti yang menyebabkan saya harus
cuci darah. Teman-teman dan keluarga saya yang berlatar belakang pengacara
menganjurkan agar dokter tersebut dituntut saja, tetapi saya mengatakan bahwa
sekalipun saya memiliki bukti-bukti yang sangat kuat, namun pembalasan itu
bukanlah hak kita melainkan hak Tuhan, dan Tuhan menghendaki kita untuk
mengampuni sesama.
Operasi
cangkok ginjal
Manusia boleh berbuat
kesalahan dalam menangani kesehatan saya, tetapi Tuhan tidak membiarkan saya
jatuh tergeletak. Tuhan memberi tangan dokter yang baik untuk menolong saya.
Pada bulan Oktober 2001, kami mengirim seluruh data-data diri saya ke sebuah
rumah sakit di Tiongkok. Setelah dilakukan pengecekan, maka pada tanggal 22
Oktober 2000, saya mendapat berita bahwa pada tanggal 30 akan dilakukan operasi
cangkok ginjal pada diri saya. Saya mengucap syukur kepada Tuhan bukan hanya
karena saya telah berhasil mendapat cangkokan ginjal yang baru dan sekarang
tidak perlu melakukan cuci darah lagi, tetap lebih dari itu, saya berterima
kasih kepada Tuhan atas pelajaran sekaligus bimbingannya yang ajaib telah
terjadi dalam kehidupan saya.
Pada hari pertama dan
kedua ketika saya datang ke kantor kedutaan RRT di Jakarta untuk mengurus visa,
saya ditolak karena saya bukanlah seorang pengusaha. Tetapi karena kemurahan
Tuhan, saya mendapatkannya. Kebanyakan dari pasien yang melakukan cangkok
ginjal di RRT mengalami kegagalan, tetapi dalam operasi yang biasanya memakan
waktu sebulan hingga dua bulan untuk pemulihan, Tuhan membuat pemulihan saya
hanya memakan waktu 12 hari saja, dan saya sudah bisa kembali ke Jakarta. Tuhan
mencukupi seluruh keperluan dan kebutuhan kami selama berada di Tiongkok. Saya
telah ditolong oleh Tuhan melewati lembah kematian dan mendapat hidup yang
kedua kali, rasanya tidak ada yang dapat diucapkan untuk menanyakan bahwa Tuhan
itu dahsyat dan ajaib, selain mengabdikan
diri saya menjadi hamba yang setia sampai nafas terakhir.
Sumber: Majalah SUARA,
Edisi 69, Tahun 2003/ sabda.org
Kumpulan Kisah Nyata:
No comments:
Post a Comment