Tommy bersaksi bahwa kehidupan yang
sekarang sedang ia jalani adalah sesuatu yang bahkan tidak pernah ia mimpikan
karena semasa kecilnya ia harus hidup dengan biaya pas-pasan. Awal ke Jakarta
bersama orangtuanya, mereka harus tidur di kolong jembatan dengan membangun
bedeng dari bambu.
"Kalau kami semua bisa makan
setiap hari, itu sudah suatu karunia yang luar biasa," demikian tutur
Tommy.
Orangtuanya kemudian memulai usaha
dengan berdagang hasil bumi seperti bawang, cabai dan sayur-sayuran. Untuk
memenuhi kebutuhan mereka sekeluarga, Tommy dan ibunya setiap pagi harus pergi
ke pasar induk Kramat Jati untuk mengambil bahan-bahan dagangan mereka dan
dijual. Mereka harus naik sebuah mobil bak kecil setiap jam 4 pagi.
Pada saat itu Ia berpikir bahwa mereka tidak boleh seperti ini terus. Ia harus membuat perubahan dalam kehidupan ekonomi mereka. Setelah lulus SD, Tommy tidak sekolah selama 2 tahun. Ia menjadi makhluk ekonomi yang berjualan es, Koran, permen dan bahkan ia menkadi pemecah batu untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Tinggal di Jakarta dengan 13 orang anak dan dalam kemiskinan, orangtua Tommy tetap menganggap bahwa sekolah adalah hal yang penting. Namun keterbatasan finansial membuat Tommy harus bersabar dan menahan keinginannya yang menggebu-gebu untuk belajar, hingga suatu hari seseorang yang baik hati menawarkannya sekolah.
"Sekolah itu, bapak saya dan
mamak saya sudah tidak ngurusin saya, karena saya sudah mulai cari uang
sendiri. Saya pikir, saya tidak boleh berdiam diri, saya tidak boleh begini
terus. Karena kalau saya ikuti situasi saat itu, paling banter saya seperti
bapak saya, punya kedai makanan, warung makan nasi. Masa saya harus seperti
itu... hal itu memacu saya, saya harus bangkit," jelasnya.
Waktu itu, satu pikirannya untuk
merubah nasib adalah dengan banyak membaca. Ia kemudian masuk sekolah pelayaran
dan berlayar untuk mengumpulkan uang demi bisa melanjutkan pendidikan ke bangku
kuliah.
Pada tahun kedua ia kuliah, ia diajak
temannya untuk bekerja di kantor pengacara. Awalnya ia tidak tahu apa itu
pengacara. Yang ia tahu bahwa kalau ia bekerja maka ia akan mendapat uang. Ia
bekerja di Firma Hukum Maruli Simorangkir dan menjadi asisten pengacara. Tetapi
disana ia melakukan semua pekerjaan. Termasuk pekerjaan yang seharusnya
dilakukan oleh Office Boy, misalnya
bayar tagihan telepon, tagihan listrik, beli Koran sampai menyuguhkan
minuman pada tamu. Bahkan sampai membetulkan genteng yang bocor. Ia lakukan
semua dengan sukacita. Ia harus bekerja disana sampai jam 5 dan harus ke kampus
sepulang kerja. Tanpa ia sadari sebenarnya ia sedang mempelajari praktek hukum
yang sebenarnya disana yang tertanam sampai sekarang. Menurut Maruli ia adalah
orang yang tekun. Tekun dalam pekerjaan dan sekolah.
"Saya bahkan memilih tidur di
kantor. Proses pembentukan itu, ya seperti itu.. Sampai hanya dalam waktu satu
tahun saya sudah mahir bagaimana membuat gugatan, bagaimana membuat pembelaan
perkara pidana.."
Kerja kerasnya akhirnya membuahkan
hasil, pada tahun 1986 ia berhasil mendapat gelar sarjana hukum. Bahkan di
tahun 1988 ia mengundurkan diri dan mendirikan firma sendiri yaitu Tommy
Sihotang & Partners.
Menjadi kaya adalah pilihan. Menjadi
miskin juga adalah pilihan. Setelah ia mengalami masa kecil yang tidak enak. Ia
mulai bangkit dan maju untuk memperbaiki keadaan perekonomian. Sejak saat itu
ia dipercayakan untuk menangani kasus-kasus besar dan namanya mulai sejajar
dengan para pengacara-pengacara besar yang sudah ada. Bahkan pada tahun 2006,
Tommy berhasil mendapat gelar doktor di bidang hukum. Menurut Tommy untuk
keluar dari kemiskinan, kita harus melakukan suatu terobosan dalam hidup. Dan
terobosan itu hanya kita bisa lakukan bersama Tuhan Yesus.
"Saya bisa lewati semua itu, dan
saya bisa mendapat buah yang sangat baik dari Tuhan, semua karena kebaikan
Tuhan. Saya harus katakan, 'tanpa Tuhan ngga usah ngomong, karena semua itu
ngga ada artinya hidup.' Tuhan sudah bawa saya ke tempat yang tinggi, itu
artinya Tuhan sudah tetapkan saya bekerja di ladang hukum saja. Itu juga
pelayanan saya di gereja, yang berhubungan dengan hukum. Pekerjaan saya Tuhan
pakai untuk pelayanan bagi orang lain."
Tommy Sihotang sudah berhasil melewati semua lingkaran
kemiskinan yang membelenggunya dan keluarganya. Ia keluar menjadi pemenang. Dan
semua itu berkat Tuhan Yesus yang sudah sangat baik dalam hidupnya.
"Jangan pernah putus harapan,
karena harapan itu selalu ada. Dia hanya mau kita lakukan tugas dan kewajiban
kita dengan benar dan maksimal. Jadi
sekali lagi, semua yang saya lakukan, yang saya ucapkan, yang saya peroleh,
semua itu untuk hormat dan kemuliaan bagi Tuhan Yesus saja," ujar Tommy
menutup kesaksiannya.
Sumber Kesaksian : Tommy Sihotang.
Jawaban.com
Kumpulan Kisah Nyata:
No comments:
Post a Comment