Kesaksian Jhon Natanael yang lahir
tanpa bola mata. Saat ia di dalam kandungan, ibunya mencoba melakukan tindakan
bunuh diri akibat putus asa dengan keberadaan ayahnya. Ini berimbas di masa
kecilnya. Ia melewati semuanya dengan luka yang teramat dalam. Kesepian menjadi
nyanyian pilu yang disimpannya sendiri. Bertahun-tahun, ia mengalami frustrasi
dan terus bertanya. Mengapa ia dilahirkan buta?
Lahir
Tanpa Bola Mata
Saat mengandung Jhon
empat bulan, ibunya terguncang karena ayah Jhon punya kebiasaan judi yang tak
kunjung berhenti. Puncak stres itu ketika ayah Jhon berurusan dengan polisi dan
masuk penjara. Dalam keputusasaan, dia mencoba bunuh diri dengan menenggak
minuman yang mematikan, semacam garam pekat. Namun, Tuhan berkehendak lain,
keduanya selamat. "Mama saya terselamatkan. Saya yang di dalam kandungan
pun tetap hidup meskipun lahir dengan keadaan mata seperti ini, tanpa bola
mata," kisah anak bungsu dari empat bersaudara itu.
Jhon yang terlahir
dengan nama Laij Tji The seolah menampung duka lara dan kemarahan ibunya.
"Umur delapan bulan, saya dibawa Mama ke Jakarta untuk periksa mata. Tapi
dokter mengatakan saya tak mungkin bisa melihat, sekali pun dicangkokkan
melalui donor. Tidak ada harapan karena saraf mata sudah mati. Lebih
menyakitkan, dokter bilang pada mama bahwa hidup saya sudah tidak berguna dan
belum terlambat untuk membunuhnya," cerita Jhon yang mengetahui semua
kisah itu dari ibunya.
Jhon "hidup"
dalam gelap. Ia tak bisa melihat apa-apa. Jhon kecil sendirian. Ia menyendiri
di kamar, duduk terpekur. Belajar berjalan dan berulang kali jatuh, tak jarang
kepalanya terbentur. Tangannya adalah juga mata yang melihat dengan meraba.
"Saya tahu, saya cacat karena Mama. Sering kali kalau saya dianggap nakal,
Mama kerap mengeluarkan kata-kata penyesalan telah melahirkan saya. Bahkan,
beberapa kali Mama mengancam dengan kata-kata, 'Saya akan bunuh kamu!'"
Bila ada tamu, Jhon
kecil diboyong ke kamar. "Mereka malu karena memiliki anggota keluarga
yang cacat. Saya dijauhkan dari hubungan luar. Menjadi kebiasaan ketika saya
mulai tumbuh besar, langsung cepat-cepat masuk kamar bila ada ketukan pintu
atau terdengar suara orang datang. Saya hanya mengenal rumah dan orang-orang
seisi rumah," ungkapnya lirih.
Sewaktu umur sepuluh
tahun, Jhon pernah mencoba bunuh diri. Setengah tak sadar, Jhon mengikat leher
dengan karet sampai sulit bernapas. Sikap berontak pada orang tua dan situasi
yang membosankan itu membuat Jhon gampang tersinggung. Namun, sakit hati itu
cuma bisa dirasakannya dalam hati.
Jhon tak bisa lagi
menghindar ketika guru-guru les ketiga kakaknya selalu datang ke rumah memberi
pelajaran. "Mereka sering datang, jadi mau nggak mau saya kenal mereka. Di
antara mereka, ada yang sangat memerhatikan saya, mengajak saya ngobrol, suka
ngasih permen dan ngajak saya nyanyi. Dari sinilah, saya mulai berani bicara
dengan orang di luar keluarga."
Ketika Jhon pindah
rumah, ia mulai berani ngajak ngobrol orang yang ditemui. Suatu kali, ada yang
membawanya ke persekutuan. Namun, entahlah, Jhon cepat bosan. Paling bertahan
dua minggu, setelah itu, selalu bikin alasan sakit atau jawaban sekenanya.
Ishak
Sang Motivator
Di rumah yang baru, ada
beberapa orang datang ke rumahnya. Salah satunya adalah Ishak, pemuda Kristen
yang kerap mabuk. "Kamu harus bisa main gitar, ntar saya pinjemin dari
gereja. Saya ajarin kamu sebentar, trus kamu latihan sendiri. Dua minggu kamu
harus bisa mainkan satu lagu. Kamu harus rajin. Jangan cepat putus asa kayak
saya. Kamu harus punya masa depan," kata Jhon tertawa menirukan nasihat
Ishak. Menurut Jhon, kata-kata Ishak itu kena di hatinya. Ia lantas belajar
gitar dengan sungguh-sungguh.
Suatu kali, Jhon
berkenalan dengan Amir, teman kakaknya, seorang arsitek yang mengerjakan taman
di halaman rumahnya. Jhonlah yang paling banyak menemani Amir lantaran paling
sering di rumah. Betapa kagetnya Amir ketika tiba-tiba Jhon nyanyi lagu Gombloh
sambil memetik gitar. "Pak Amir langsung nanya, mau bantu saya main musik
di gereja? Karena saya merasa sangat dekat dengan dia saya nggak enak nolak.
Pak Amir sungguh-sungguh melayani dan mendorong saya. Biarpun hujan, Pak Amir
tetap menjemput saya dengan sepeda motornya. Padahal jarak rumah kami cukup
jauh. Dalam hati saya, nekat juga orang ini."
Perubahan
Sikap
Suatu malam, di rumah
teman, Jhon merenungi hidup. Rasa gagal, tertolak, tidak berguna yang selama
ini menekannya, satu per satu terbayang di benaknya. Masa kecil yang kelam
penuh kepahitan, perkataan ibunya, saudara serta kata-kata dokter yang pernah
ia dengar dari mulut mamanya betul-betul menyesakkan. Malam itu menjadi malam
yang amat berarti bagi Jhon. Ia tumpahkan segala kekesalan dan gelisahnya pada
Tuhan. Jhon berserah penuh pada Tuhan. Ia bertekad mengubah cara pandangnya
dalam melihat kehidupan.
Pelan-pelan, Jhon bisa
menerima kekurangannya. Dia juga berdamai dengan diri sendiri dan mengampuni
orang-orang yang pernah melukainya. Malam itu, Jhon "berhadapan dengan
Tuhan".
"Saya seperti
menemukan sosok Bapak," kata Jhon yang sejak lahir sampai ia dengar ayahnya
meninggal, belum pernah sekalipun bertemu.
Sukacita dan harapan
pelan-pelan memenuhi hati Jhon. Bagi Jhon malam itu adalah malam pengampunan.
Sebab pada malam itu, ia bisa mengampuni setiap orang yang pernah melukainya.
Itulah yang memotivasi Jhon untuk bangkit dan tidak larut dalam masalah.
Benarlah, hati yang gembira adalah obat. Jhon makin giat melayani Tuhan. Lewat
nyanyian dan petikan gitarnya, ia semakin maju dan menang mengalahkan segala
rasa yang tak perlu disimpannya.
Usia 20 tahun, Jhon memberanikan
diri minta izin pada ibunya untuk dibaptis. Ibunya tak keberatan asal Jhon
menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh. "Meski Mama bukan seorang
Kristen, tapi ia sungguh-sungguh mendorong saya untuk melayani Tuhan. Pernah
suatu kali, saya jenuh dan berniat bolos tidak ke gereja, Mama saya ribut.
'Lho, katanya kamu mau jadi Kristen kok malas-malasan.' Ketika saya pulang
pelayanan, Mama menunggu saya dan selalu bertanya, sudah makan belum?"
Tuhan juga memberi
kesempatan Jhon melayani ibunya saat wanita yang melahirkannya itu jatuh sakit
dan harus opname. Selama satu minggu, Jhon menemani ibunya, "Sewaktu Mama
anfal, ia berteriak, 'Yesus tolong saya!' Tak lama kemudian, Mama dipanggil
Tuhan. Rasanya waktu bersama Mama belum cukup. Mama meninggal saat kami sangat
dekat. Tapi hati saya sangat bahagia, Mama sudah mengakui Yesus."
Bertemu
Tulang Rusuk
Jhon semakin terpacu
bercerita tentang Yesus. Jadwal pelayanan padat. Awal Juni tahun 2000, Jhon
bersama beberapa teman pelayanan ke Kalimantan Barat. Di sana, Jhon didampingi
Pdt. Kenny Wolter. Marianalah yang mengurus dan banyak mendampingi Jhon.
Teman-teman Jhon maupun Mariana kerap menggoda, "Wah, kayaknya kalian
cocok banget," kata Jhon tersenyum menirukan godaan mereka.
Sehari menjelang
kembali ke Jakarta, Jhon "didesak" teman-temannya untuk
"mengungkapkan cinta". Semula Jhon ragu, sadar atas keterbatasan yang
dimilikinya. Namun akhirnya, muncul keberanian itu. Jhon mengajak bicara
Mariana. Memang tak ada yang dapat membandingi kuasa Tuhan. Mariana, meski
kaget bukan kepalang, akhirnya menerima cinta Jhon.
Malam itu pula mereka
sepakat untuk segera menikah. Hal ini disampaikan kepada Pdt. Kenny, yang kaget
mendengarnya. "Pendeta bilang, uji dulu. Kami pun dipisahkan di tempat
yang berbeda. Setelah selesai, kami dipanggil Pdt. Kenny. Apakah jawaban kami
sama? Ternyata saya dan Mariana punya jawaban sama, mantap untuk menikah."
Pernikahan yang
mengharukan itu pun dilaksanakan. "Saya pulang ke Jakarta bawa istri,
mukjizat ya?" kata Jhon tertawa, Mariana yang mendampingi pun tersenyum. Mariana
mengaku kagum atas karya Tuhan dalam hidup suaminya. "Meskipun Kak Jhon
begitu, dia loh yang atur keuangan keluarga. Dia pinter banget ngurus duit.
Saya juga heran, dia bisa main gitar, keyboard, drum, suaranya juga bagus,"
ungkap Mariana, gantian Jhon tersenyum mendengar pujian istrinya. Tak lama
menunggu, Mariana hamil. Pada 13 April 2002, lahirlah Ester Agung Natanael;
buah cinta kisah keajaiban. Jhon tak lagi merasa sepi dan sendiri. Mariana dan
Ester memenuhinya dengan cinta. Luka itu telah digantikan-Nya dengan sukacita.
Sumber: Buku Karena
Dia/sabda.org
Catatan:
Kesaksian ini kita
diajarkan untuk bersyukur, saat kesulitan yang kita hadapai jangan pernah lari
dari Tuhan, tetap percaya kepada Tuhan. Bersyukur kepada Tuhan apapun kondisi
hidup kita baik maupun senang. Percaya bahwa rancangan Tuhan itu indah pada
waktunya. Amin
Kumpulan Kisah Nyata:
No comments:
Post a Comment