Kesaksian Usman Abdullah yang berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan,
bertemu Isa Al Masih. Kisah hidup mulai
dari kecil sampai besar dan kuliah di kota jakarta. Kesaksian ini di ambil dari
blogspot Yehuda Ministry.
Latar Belakang
Usman Abdullah itu adalah trah
keluarga, saya berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan. Kakek saya orang
Makassar, nenek saya orang Bugis. Saya bersyukur ada di angkatan ini, angkatan
tahun 80an sehingga memungkinkan saya mengerti internet. Bapak saya ******
usman menikah dengan mama saya (orang Minahasa), awalnya mereka menikah di
gereja tetapi setelah saya dan adik saya (perempuan) lahir (saya dan adik saya
hanya berjarak satu satu tahun) bapak saya meminta mama saya untuk masuk islam
bila tidak, maka mama saya akan diceraikan (saya mengetahui kemudian pada usia
16 tahun, saya mengetahui dari adik bapak saya).
Orang Tua Bercerai
Mama saya dengan terpaksa masuk islam
dan kemudian bercerai setelah adik saya (nomor 3) lahir. Mama saya bercerai
karena bapak saya kedapatan ber 2 di kamar teman (sahabat) mama, kata bapak
mereka sudah menikah secara siri. Kenyataan yang buruk buat saya yang waktu itu
berumur 5 tahun. Pengadilan memutuskan saya dan 2 orang adik saya di asuh oleh
mama saya tetapi bapak membawa kami pergi ke rumah nenek di kampung (Kab. Baru)
sampai usia 8 tahun.
Kami tinggal bersama-sama nenek,
sementara bapak kawin lagi bahkan kawin hingga punya 4 orang istri, mama juga
menikah lagi dan tinggal bersama suaminya.
Saya dan 2 orang adik saya dididik secara
Islam, kami diajar sholat 5 waktu, kalau tidak sholat atau mengaji maka kami
harus siap-siap menghadapi rotan dari nenek. Kami dilarang untuk bergaul dengan
keluarga dari mama karena mereka adalah orang kafir, mereka pasti masuk neraka
(kata nenek yang mengasuh kami waktu itu). Nenek yang dimaksud adalah istri
pertama kakek (kakek mempunyai 3 orang istri).
Saya ingat bila adik saya (perempuan)
tidak mau mengaji maka adik saya pasti akan di pukul rotan, di pukul hingga
badannya ada bekas pukul dan berwarna biru. Saya sedih lihat adik saya, sedih
juga karena saya bapak tidak pernah menengok kami. Sedih juga karena wajah saya
dan adik saya mirip orang cina dan teman2 saya mengejek saya dengan mengatakan
saya keturunan cina.
Usia 9 tahun kami bertemu dengan mama
dan keluarganya (saat itu kami ada di Makassar, berlebaran), kami menangis
sejadi-jadinya... Adik saya menceritakan keadaan kami dan pengen tinggal
sejenak dengan mama, mama minta supaya kami di ijinkan tinggal 2 hari bersama
mama. Setelah perdebatan panjang kami diperbolehkan tinggal 2 hari dengan mama.
Rasanya kami merdeka, lepas dan tidak
mau kembali ke kampung. 2 hari terasa cepat berlalu, nenek datang menjemput
kami namun beberapa saat sebelum nenek datang menjemput oma (mama-nya mama)
datang dan mengajak nginap di rumahnya, kami senang sekali dan langsung
mengiyakan. Jadi, libur lebaran itu kami tinggal di rumah mama dan oma kami.
Pengalaman yang Berbeda
Pengalaman tinggal di rumah mama dan
oma kami sangat menyenangkan, mama mengajarkan (khususnya ke adik-adik saya)
tentang mengasihi sesama, kata mama. Apa dan bagaimana pun kami, mama tidak
akan melupakan kami dan terus berdoa bagi kami. Mama bilang mau bawa kami
tetapi bapak selalu menghalangi dan mengancam akan melaporkan ke polisi.
Di rumah mama kami juga diberi
kebebasan untuk sholat (begitupun di rumah oma), kami tidak pernah dilarang
untuk sholat. Ada yang berbeda antara di rumah nenek dan di rumah oma, di rumah
nenek kalo mau makan harus bilang dulu dan biasanya harus diambilkan (ditakar)
oleh nenek, di rumah mama atau oma kami boleh makan sesuka kami … yang penting,
kata oma, makanannya dihabiskan, karena ada banyak orang yang membutuhkan makan
jadi tidak baik kalau makanan di buang-buang.
Hal yang berbeda lainnya adalah pada
malam hari di rumah oma ataupun mama pasti semua kumpul di meja makan, makan
bersama namun sebelum mereka makan mereka berdoa (waktu di rumah mama, yang pimpin doa adalah bapak tiri kami)
bersama dan yang memimpin doa adalah opa. Karena saya tidak mengerti jadi saya
hanya diam aja sementara opa memimpin dalam doa, di dalam doa yang diucapkan
opa itu doa menggunakan bahasa Indonesia yang saya juga bisa dengar beda dengan
doa saya selama ini. Di dalam doa itu saya dengar nama saya juga di sebut,
bukan hanya nama saya tetapi nama adik-adik saya dan bahkan nama bapak saya
juga di sebut. Saya merasa kagum dan takjub karena selama ini nenek mengajari
kami untuk tidak perlu mendoakan mama dan keluarga besarnya karena mereka kafir
dan pasti masuk neraka.
Kami makan selayaknya keluarga, saya
dan adik-adik saya diberi tempat duduk persis di samping opa (masih ada 2 orang
adik mama yang tinggal dengan oma dan opa waktu itu karena mereka belum menikah
dan masih kuliah), hal berbeda bila kami makan malam di rumah nenek, biasanya
setelah makanan diberi, kami disuruh
duduk di lantai atau disuruh makan di dapur. Pengalaman tinggal bersama mama
dan oma membekas di hati kami, saat mama melepas kami kembali ke nenek mama
bilang akan sering-sering berkunjung ke kampung di Barru. Saat mama pergi, kami
menangis, kami mengangis supaya kami tidak ditinggal.
Setelah mama pergi karena adik saya
yang nomor 3 (usia 6 tahun) masih menangis … nenek mengambil rotan dan memukul
adik saya, adik saya yang perempuan juga menangis dan juga dipukuli supaya
mereka berhenti menangis, saya sampai harus melindungi adik2 saya dari pukulan
rotan itu. Kebetulan saat itu ada ustad di rumah (sedang berkunjung karena
masih suasana lebaran) dan ustad itu mengatakan : "Mungkin anak-anak ini
dibaca-bacai supaya ingat terus ke mama-nya" jadi ustad itu mulai merapal
bacaan dan dengan bacaaannya kami ditenangkan.
Saya meminta adik saya diam, waktu
itu kami tenang bukan karena bacaan tetapi karena takut dengan rotannya nenek.
Di kamar (kebetulan kamar yang kami tempati berada di lantai 2) saya
menenangkan adik-adik saya. Adik saya yang nomor 2 (usianya 8 tahun waktu itu)
terus merengek minta ketemu mama lagi. Entah kenapa kok dari dalam hati saya
ada keinginan untuk kabur dari rumah itu.
Kabur dari Rumah
Saya kemudian menghapal kembali jalan
untuk ke rumah mama tetapi sulit, yang saya ingat malah jalan ke rumah oma
(rumah nenek di jl. cendrawasih dekat stadion Mattoangin, sementara rumah oma
di perumnas Antang). Lalu saya mulai mengendap-endap ke dapur dan mencari tas
plastik untuk memasukkan baju-baju kami, saya mewanti-wanti adik-adik saya
untuk tidak tidur supaya kita bisa pergi tengah malam.
Kami berpura-pura tidur saat om A****
(yang punya rumah) menengok kami dan memastikan kami sudah tidur dan mematikan lampu kamar. Tepat
pukul 11.30 malam saya lihat sekeliling dan gelap, saya bangunkan adik-adik
saya dan mengendap-endap keluar kamar. Kami menggunakan pohon mangga yang ada
di samping balkon kamar turun ke halaman samping dan manjat pagar dan kemudian
kami pergi tanpa sepeser pun uang tadinya kami di berikan uang oleh om Edy
(adiknya mama), oma dan juga mama tetapi uang itu di ambil oleh nenek sesaat
setelah mama pergi.
Saya menuntun adik-adik saya dan juga
membawa tas kresek isi pakaian kami. Kami menumpang mobil angkutan kota yang
kebetulan lewat. Saya ingat saat itu kami berhenti di pasar Sentral. Sampai di
pasar Sentral tengah malam. Saya hanya menuntun adik-adik saya menuju ke
lapangan Karebosi. Saya ingat sekali jalannya karena itulah rute yang tadi kami
lewati waktu mama mengantarkan kami kembali ke rumah om A****.
Sebenarnya kami saya hanya mau cari
tempat buat tidur dulu, kasihan adik-adik saya yang mengantuk, namun karena
semangat mau kabur jadi mereka tetap terjaga. Belum sampai kami di lapangan
Karebosi tiba-tiba ada mobil berhenti (pick up), kami kaget karena kami kira
itu mobil om A****, kami takut tertangkap dan di bawa pulang kembali tetapi
ternyata 'orang itu' memakai baju panjang dan berambut panjang diurai keluar
dan bertanya kami mau ke mana tengah malam begini? Saya katakan mau ke Antang
lalu dia bilang nanti saya antar kalian, saya langsung mau, karena waktu itu
kami butuh tumpangan dan tidak tahu kenapa kok saya percaya saja pada orang
itu. Di dalam mobil (kami duduk di depan samping 'orang itu') kami tidak banyak
bicara, saya hanya bilang mau ke perumnas Antang om, blok 7 (saya ingat karena
di rumah oma ada tulisan nomor dan blok-nya dan saya hapal).
Saya berusaha menahan kantuk supaya
tidak tertidur tetapi saya ikut tertidur bersama adik-adik saya. Ketika saya
terbangun saya sudah ada persis di depan rumah oma. Om yang mengantar kami
membangunkan saya dan karena kaget saya langsung bangunkan adik-adik saya dan
saya berterima kasih pada 'om' yang mengantar saya. 'Om' itu pergi begitu saja
meninggalkan kami, karena senang sekali kami tiba di rumah oma saya sudah tidak
memperhatikan om yang tadi mengantarkan kami.
Om Edy yang bukakan kami pintu dan
terkejut melihat kami, oma dan opa juga kaget melihat kami. Saya tahu dalam
pikiran mereka mungkin akan mengembalikan kami ke nenek, tetapi tidak lama
kemudian oma bilang 'Sekarang yang penting bagaimana mereka tidur dulu, soal
besok biar nanti kita hadapi'. Kami akhirnya kembali bermalam di rumah oma.
Itulah pengalaman saya pergi dari rumah nenek ke rumah oma.
Singkat cerita, nenek menyalahkan
mama dengan kaburnya kami dari rumah om A****. Nenek mengatakan bahwa mama
mengguna-gunai kami (padahal tidak), bapak sudah tidak perduli dengan
kami, jadi dia baik-baik saja kami pergi
dari rumah om A****. Nenek tetap ngotot untuk mengambil kami kembali, saya tahu
kenapa nenek ngotot karena di rumah nenek (di Barru) kamilah yang mengurus
rumah tangga, mulai dari cuci pakaian, ngepel dan semuanya. Kami memang kembali
ke rumah om A**** dan sudah bisa di tebak kami dipukuli habis-habisan dan
dipulangkan ke Barru, tetapi tetap saja kami bisa kabur dan kembali ke rumah
oma. Saat itu mama juga ikut suaminya pindah ke Sumbawa, jadi kami hanya punya
tempat kabur ke rumah oma. Selalu ada kekuatan yang membuat kami kabur dan
selalu ada orang yang menolong kami dalam perjalanan kabur itu.
Karena seringnya kami kabur, nenek
sudah bosan mengejar kami dan akhirnya membiarkan kami. Opa mengurus
surat-surat sekolah kami dan memindahkan kami ke Makassar. Di Makassar kami di
asuh oleh oma dan opa (mereka sudah almarhum).
Selama di rumah oma, kami mendapat
perlakuan yang berbeda dengan sewaktu kami di rumah nenek dan itu berlangsung
setiap hari, seperti apa yang mereka tunjukkan sewaktu kami awal-awal menginap
di rumah oma dan opa.
Tinggal di Makassar
Saya lulus SD dengan peringkat
terbaik, kemudian melanjutkan SMP di SMP Negeri di Makassar. Pada saat kelas 2 SMP,
saya harus pindah ke rumah om M**** dan tante P****, karena oma dan opa
harus pindah ke Bitung Sulawesi Utara (melanjutkan hari tua disana) dan kedua
adik saya di bawa serta ke sana. Om M**** adalah keluarga jauh
(sepupu-sepupu mama).
Saya tinggal di Makassar karena waktu
itu ada perlombaan cerdas cermat dan tidak bisa ditinggalkan. Rencananya nanti
setelah saya mengikuti lomba saya akan ikut dipindahkan ke Bitung tetapi
kenyataannya karena prestasi yang baik, saya tidak jadi pindah bahkan mengikuti
perlombaan-perlombaan lainnya (semacam olimpiade matematika saat ini).
Kelas 3 SMP saya tetap diasuh oleh om
M**** dan tante P****, mereka baik kepada saya, mereka tidak punya anak dan
memperlakukan saya seperti anak sendiri, saya tidak pernah disuruh-suruh
seperti saat saya masih di rumah nenek atau di rumah om A***, saya malah
diberikan sepeda BMX dan itulah yang saya gunakan untuk bersekolah. Saya juga
bekerja paruh waktu dengan meloper koran, saya saat itu masih sholat (kadang-kadang) kalau di ajak
teman di sekolah atau kalau ada safari ramadhan di sekolah atau juga kalau ada
tugas dari guru agama (soalnya kalau tidak sholat, pasti dipukuli oleh guru
agama atau nilai agamanya dikasih merah).
Om M**** tidak pernah protes kalau
tiba-tiba saya diajak teman-teman pergi maghrib berjamaah. Kebetulan dekat
rumah om M**** ada masjid. Sebenarnya saya tidak mau, tetapi tidak enak dengan
teman-teman yang mengajak. Saya ingat teman-teman saya waktu itu selalu
mengatakan kalau kita tidak sholat, maka kita akan terkena azab dan siksa dari
auloh baik di dunia terlebih di akherat. Semua pasti takut bahkan ada teman sekelas
saya chinese sampai jadi islam karena takut dengan ancaman itu.
Oh iya, konflik sara pada waktu itu
di Makassar gampang sekali terjadi. Kalau ada perang antar geng, yang jadi
sasaran pasti took-toko kelontong milik teman-teman saya yang Chinese, padahal
mereka sudah menutup warungnya karena takut jadi sasaran pelemparan batu,
tetapi tetap aja kena lemparan batu dan tidak ada sanksi pidana bagi mereka
yang melakukan pelemparan, walalupun ada polisi tetapi polisi tidak bisa
ngapa-ngapain, nanti kalau mereka sudah puas saling melempar atau jika sudah
ada yg terluka parah atau mati barulah mereka berhenti berantem. Sambil mereka
berantem mereka selalu teriak auloh huakbar, kadang saya bertanya dalam hati
bukankah mereka datang dari suku yang sama dan agama yang sama? mereka hanya
terpisah gang tetapi saling perang batu dan busur namun yang jadi sasaran
adalah orang-orang minoritas, selalu begitu, ada-ada aja masalah yang menjadi
pemicu keributan atau perang antar geng misalnya hanya karena kalah dalam
pertandingan sepakbola atau karena senggol-senggolan dalam hiburan pas 17 agustusan
dan yang paling sering adalah karena tersinggung karena kata-kata yang tidak
pantas (ditegur tetapi tidak terima tegurannya, malah menjadi dendam).
Selepas SMP saya melanjutkan ke SMA
di Bitung, karena om M**** harus mutasi ke Soroako, Opa menjemput saya ke
Makassar dan saya pindah ke Bitung. Saya SMA di Bitung satu sekolah dengan anak
ketua MA sekarang (sampai saat ini saya masih berhubungan baik dengannya karena
there is story behind me and her sayang
papa-nya galak, hahahahahaha.....).
Saat SMA inilah saya banyak berpikir
tentang ke-islaman saya. Selama saya SMA saya tidak pernah sholat sama sekali.
Di rumah tidak di wajibkan karena saya ikut tinggal di rumah oma. Oma dan opa
juga tidak pernah melarang saya sholat namun juga tidak pernah menyuruh saya
sholat. Kedua adik saya malah sudah aktif di gereja, mereka yang selalu katakan
ayo kak ikut kami ke gereja (oma selalu marah kalau mereka mengajak ke gereja
karena menurut oma kepercayaan tidak perlu di paksa-paksa nanti akan muncul
dengan sendirinya).
Saya selalu mengeraskan hati, saya
sadar sepenuhnya lingkungan saya berubah. Di sekolah setiap pelajaran agama,
saya mengikuti (agama islam) tetapi ketika teman-teman muslim sholat, saya
tidak ikut, teman saya sesama muslim mengingatkan saya akan bahaya azab dan
neraka (persis sama seperti teman saya F**** saat SMP mengingatkan saya),
tetapi saya diam saja.
Pada hari Jumat di sekolah kami itu
ada persekutuan doa. Setiap jumat saya dengar mereka beribadah mereka selalu
berbicara tentang kasih, mengampuni, menolong dan menghargai sesama. Hal yang
berbeda dulu tiap kali dengar khotbah jumat yang di katakan selalu tentang
azab, siksaan api neraka, mengutuki, hindari berteman dengan yang tidak seiman
dan banyak lagi ... Oh iya, saya teringat satu hal bahwa saat itu di sekolah
saya banyak teman kelas saya yang perempuan hamil oleh teman-teman sekolah
(kakak kelas) yang justru beragama islam, kalau mau di nikahi teman-teman kelas
saya itu harus mau jadi islam.
Saya juga berulang kali di injili
oleh teman-teman yang Nasrani, bahkan saya sempat mengetahui mereka membagi
tiap-tiap teman yang muslim dengan golongan liberal dan ekstrimis. Mereka
mengkategorikan saya sebagai islam liberal (saat itu) karena saya terbuka
dengan mereka, namun saya tetap pada pendirian saya untuk tetap muslim (lebih
tepatnya congkak), mungkin karena sejak dulu ditekankan dan di tanamkan oleh
nenek dan keluarga dari bapak sekali muslim tetap muslim atau proud to be
moslem (something like that lah...). Guru-guru saya juga tidak pernah menekan
saya untuk berpaling kepercayaan, walau mereka non muslim mereka tetap
menghargai saya. Saya ingat adalah pertemananku dengan anak ketua MA sekarang
(waktu itu beliau adalah ketua PN Bitung) kami sama-sama muslim, awalnya kami
berteman baik tetapi setelah mengetahui keluargaku non maka kami harus menjaga
jarak (saat itu) dalam berteman. Sekarang setelah kami bertemu lagi (setelah
sekian lama berpisah) kami bisa mentertawakan masa lalu... hahahaha....
Kuliah di Jakarta
Saya melanjutkan kuliah di Jakarta,
saat itu saya mengajukan pilihan pertama UMPTN di Jakarta, kedua di Bandung dan
ketiga Manado, gagal lolos di Jakarta dan Bandung saya lolos UMPTN di Unsrat
Manado tetapi karena posisi saya sudah di Jakarta jadi saya (setelah diskusi
dengan oma dan keluarga), saya meneruskan kuliah di PTS di Depok.
Bertemu dengan Bapak
Di Jakarta inilah saya bertemu
(kembali) dengan bapak saya. Dia tinggal di Tanjung Priok dengan istri
ke-empatnya.
Saya melihat dengan mata kepala saya
sendiri bagaimana dia susah payah menghidupi keluarganya. Di satu sisi saya
kasihan dengan dia tetapi mengingat bagaimana dia menelantarkan kami, mengingat
bagaiamana dia tidak perduli dengan kami, mengingat bagaimana kami harus
berjuang menenteng-nenteng tas di tengah malam... Saat itu saya benci sekali
dengan dia, kenapa saya bisa bertemu dengan dia? Sepupu mama saya yang rumahnya
saya tinggali (tante J****) pernah menggunakan jasa bapak sebagai driver lepas
(secara tidak sengaja bertemu) dan bila ada acara2 tertentu tante J**** selalu menggunakan
jasa bapak. Suami tante J**** adalah seorang pendeta (tadinya adalah seorang
preman yang bertobat menjadi pendeta, dia orang Jawa), dialah yang meminta saya
untuk bertemu dengan bapak.
Saya sebenarnya sangat tidak ingin
bertemu. Kata om U**** waktu itu adalah tidak baik hidup dalam amarah dan
mendendam, karena kalau kita mendendam, kita tidak akan memiliki kerajaan
Sorga, saya tidak mengerti apa yang dia maksudkan saat itu, yang kupikirkan om
U**** hanya mau saya ketemu bapak, sudah lama saya tidak bertemu bapak dan saya
(setiap bertemu keluarga) sudah tidak menganggap dia bapak lagi, itulah
sebabnya mungkin om U**** memaksa saya untuk bertemu bapak supaya ada
rekonsiliasi diantara kami.
Tetapi, pada saat saya bertemu bapak,
saya malah senang karena merasa dendam saya terbalaskan. Melihat hidupnya yang
berantakan dan susah payah rasanya senang sekali. Bukankah dia menelantarkan
kami? Membiarkan kami tinggal sama nenek di Barru, sementara dia senang-senang
dengan perempuan lain? Dia mengejar-ngejar kami saat kami bersama-sama mama,
tapi dia mengembalikan kami ke nenek dan dia pergi begitu saja, rasanya pengen
memukul wajahnya tetapi melihatnya hidup dalam kesusahan saja sudah cukup.
Pada saat pertama kali bertemu di rumah
kontrakannya di tanjung Priok dia mau peluk saya dia bilang : "A****
anakku..." cuih ... tidak harap aku diaku anak oleh dia (saat itu aku
berpikir demikian), saya menghindar saat dia mau peluk. Saat saya menghindar om
U**** menatapku dan karena aku tidak enak hati, maka aku membiarkan dipeluk
oleh bapak saat dia mencoba memelukku untuk yang kedua kalinya. I hate him so
much... Dia tanya apakah aku masih sholat aku bilang tidak lagi, sudah 3 tahun
tidak sholat, dia tanya apakah aku masih islam? aku hanya mengangguk (saat dia tanya
begitu om U**** dan tante J**** sudah di mobil, saya di tanyain bapak saat
berjalan menuju ke mobil) saya ingat pesan bapak waktu itu : pokoknya kamu
kuliah aja, hati-hati dengan mereka, jangan mau kalo diajak ke gereja, tidak
apa-apa walau tidak sholat, tapi tetap islam... Dalam hati ku bilang kalau aku
mau jadi Kristen sudah dari 3 tahun lalu ****, aku tetap islam bukan karena
kamu, karena aku pikir waktu itu di
Indonesia mayoritas islam dan islam itu agama yg dari auloh, karena
islam itu rahmatan lil alaamin, membawa kebaikan bagi semua orang (waktu itu
aku berpikir begitu
Awal pertobatan
Saat di asuh oleh oma dan opa saya
tidak di paksa untuk beralih kepercayaan. Saat saya lulus SD, SMP dan SMA pun
saya tetap muslim namun yang saya ingat adalah 'Om' yang menolong kami pada
saat kabur pertama kali… Dia datang lagi pada saat saya kecelakaan pada bulan
Agustus 1998 (semester awal saya kuliah) di desa Tajur (perbatasan
Puncak-Cianjur).
Pertobatanku terjadi saat aku
berlibur bersama teman-teman kompleks rumah om dan tante di puncak pass. Saat
itu kami liburan di puncak dan setelah dari puncak kami akan melanjutkan ke
Bandung, kebetulan saat itu saya bersama rombongan naik motor dan motor saya di
salib oleh bus dan membuat saya tergelincir jatuh, saat jatuh itulah kepala
saya menghantam batu besar di pinggir jalan dan membuat kepala saya pecah dan
harus di jahit 14 jahitan. Kata dokter yang menangani saya, saya koma 3 hari,
tetapi 3 hari itu adalah perjalanan spiritual saya. Saya mengalami hal yang lain, saya bertemu
dengan 'Om' yang dulu menolong saya...
Saya tidak ingat apa-apa lagi... Saat
itu dunia saya gelap, hitam, otak saya masih jalan tapi saya pun tidak bisa
melihat diri saya sendiri. Saya tidak merasakan sakit, saya pikir saya buta ...
Ya saya pikir saya buta … kenapa begitu? saya ingat kejadian terakhir saat
terjatuh dan buuk!!! dan kemudian gelap... (saya tahu kepala saya menghantam
batu karena diceritakan oleh teman, masih kata teman saya, telapak tangan saya
terkena pecahan beling/kaca sekitar 2 senti dari urat nadi saya, sampai
sekarang masih ada bekas lukanya)
Saya berpikir saya sedang berjalan
dalam kegelapan, saya juga berpikir saya sudah mati karena saya bersuara,
teriak tapi tidak ada yang menyahut saya tidak merasakan apapun juga... gelap,
hitam bahkan langkah kaki saya tidak rasakan. Desperate ... pasti ! ….saya
takut mati, saya takut sendirian, saya teriak-teriak, tapi tidak mendengar
suaraku sendiri, kenapa saya tahu saya teriak? karena otakku berpikir dan hal
pertama yang aku ingin ketahui adalah kenapa duniaku hitam? dimana orang-orang
lainnya? kenapa saya buta? kenapa saya tidak mendengar suara yang aku
keluarkan? saat suaraku tidak ada yang sahuti,
saya sadar saya sendirian, saya menangis meraung-raung minta tolong...
Lalu saya berkata : Tuhan Tolonglah
aku... Lalu muncullah terang... awalnya setitik lalu titik itu mendatangi aku
dan makin lama makin terang dan silau lalu muncullah Dia, dia sama persis
seperti siluet yang muncul saat polisi korban WTC seperti yg ada di film WTC.
Aku ingat Dia... Dia yang menolong kami malam itu... kenapa saya ingat? saya
ingat wajahNya... Wajah yang sama seperti di lukisan yang ada mahkota durinya
tapi yang mendatangi aku lebih natural dari apa yang di gambarkan orang...
WajahNya innocent, lemah lembut bukan tipikal pemarah.
Awalnya saya tidak bisa melihat
terang itu tetapi setelah terang memenuhi tempatku (aku sendiri ga tau tempat
apa itu) aku bisa lihat siluetNya dan wajahNya (seperti lihat matahari yang
terang, ada warna oranye di tengahnya), aku ingat Dia adalah Isa Al Masih yang
disembah-sembah teman-temanku dulu pas SMA. Aku lihat dan mendengar dia berkata
: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup, tidak ada seorangpun datang kepada
Bapa kalau tidak melalui Aku..." Aku ketakutan dengar itu seperti sedang
duduk di depan hakim lalu Dia bilang : "Jangan takut ... kembalilah dan
ikutlah Aku..."
Seketika itu aku terjaga dan
merasakan tubuhku ada di rumah sakit didalam ruang ICU, dingin, kepalaku
diperban dan telapak tanganku juga diperban... Aku tidak merasakan sakit...
Dokter juga heran, bekas lukanya masih ada, aku ditanyain banyak hal tapi aku
diam... Aku minta pulang saat itu dan dalam perjalanan pulang aku ingat-ingat
kejadian tadi...
Di
rumah aku berdiam diri, aku bertanya-tanya siapa om itu? Lalu aku
belajar, cari tahu... Aku tanya om U****... ternyata om U**** dulunya adalah
seorang muslim, dialah yang banyak memberi tahu bahwa Isa Rohullah wal
Kalimatullah (waktu itu saya diberitahu oleh om U****)... Aku tidak serta merta
menerima Isa Al Masih, tapi aku belajar.
Dulu aku menerima secara bulat islam
adalah rahmatan lil alaamin, tetapi sekarang aku punya pembanding... Oktober
1998 tepatnya 31 Oktober 1998 saya menyerahkan hidup saya pada Kristus
Yesus/Isa Al Masih... Saya di baptis dan mengaku bahwa Yesus Kristus adalah
Tuhan dan Juru Selamat karena Dia yang selamatkan aku dari kematian...
Inilah kisah saya teman-teman...
Setelah saya jadi pengikut Kristus bukan berarti saya terbebas dari masalah
masih banyak masalah yang datang diantaranya bagaimana saya mengampuni bapak
kandung saya... Luar biasa Tuhan mengubahkan hati saya, mengampuni bapak, nenek
dan keluarga besar saya...
Ketika bapak saya tahu saya berubah
kepercayaan dia marah besar dan bahkan tidak mau melihat saya tetapi saya tetap
mengasihinya dan membantu dia menyekolahkan adik (lain ibu) saya.
Waktu itu Tuhan memberkati saya (saya
bekerja sebagai sales agen asuransi pada semester 3 sampai selesai), saya punya
pekerjaan sendiri dan saya ikut membantu menyekolahkan adik2 saya. Akhirnya
bapak mulai menerima saya, saya menceritakan kisah saya kepadanya dan dia
mengatakan bahwa saya memperoleh hidayah... Saya tidak bermaksud mengajak dia
pada kepercayaan saya saat saya menceritakan pengalaman saya saya hanya curhat
sebagai anak pada bapaknya. Saya piker-pikir dulu saya sangat membencinya
tetapi kenapa saya sangat mengasihinya? Saya kasihan lihat adik-adik (beda ibu)
saya dan saya merasa beruntung terhadap hidup saya, karena Tuhan baik pada
saya... Adik-adik kandung saya saat ini yang nomor 2 (perempuan) sarjana *****
dan bekerja di *****, menikah dengan orang Surabaya, adik saya yang cowok
sarjana ***** dan bekerja *****, saya sendiri sarjana ***** dan bekerja di
****** di republik ini...
Hampir dibunuh
Saat itu saya ada tugas kampus di
sana ... Sambil mengerjakan tugas, kami menyaksikan kebaikan Tuhan pada
beberapa orang yang ada di Getasan itu. Di pasar Getasan, kami saksikan pada
banyak orang, banyak yang percaya apalagi ditandai dengan tanda-tanda ajaib
(doakan orang sakit sembuh... ).
Akhirnya ada satu keluarga yang kami doakan dan Puji Tuhan sembuh. Oleh
keluarganya kami dijamu, karena mereka melihat sendiri tanda-tanda ajaib terjadi...
Kami bahkan diminta menginap di rumah mereka ...
Pada saat kami menginap itulah
sekitar jam 02.00 subuh, rumah tempat kami menginap, didobrak paksa oleh
puluhan pemuda sambil mengacungkan parang dan teriak aulo huakbar, bunuh
kafir... Rupanya kabar kami mendoakan orang sakit dan tanda-tanda ajaib yang
terjadi menyebar begitu cepat sehingga kami di tuduh sebagai orang yang
berusaha meng-Kristen-kan keluarga yang kami doakan tersebut...
Kami digelandang ke suatu rumah
dengan kepala ditutup pakai kain. Sambil jalan kami dihajar dipukuli tanpa kami
tahu siapa yang pukul... Sampai di rumah, kami ditutupi pakai karung goni dan
dipukuli, puas mereka memukul mereka merencanakan untuk 'menghapus jejak' dan
mereka sepakat mau buang ke rawa pening... Saat itu kami siap aja kalau memang
itu hari kami, ya kami siap...
Tapi ternyata, ada satu orang dari
antara mereka yang mengutarakan pendapatnya yaitu kenapa tidak bertanya pada
kepala kampung? Saat di bawa ke kepala kampung kami masih saja di gebuki, saat
di bertemu kepala kampung muka, kepala kami semua sudah berdarah dan memar...
Kepala kampung menyalahkan kami
karena menginap tidak lapor. Anda bayangkan sendiri bro, puluhan pemuda
tersebut masih teriak-teriak sambil acungkan parang … kalau ada jawaban yang
tidak memuaskan, maka seketika itu juga bogem mentah medarat di kepala kami...
Kenapa kami bisa lolos dari itu
semua? Orang yang meminta kami menginap datang ke tempat di mana kami di
interogasi. Beliau menjelaskan bahwa seharusnya dialah yang harus disalahkan,
tentunya mereka menggunakan bahasa Jawa yang saya juga tidak mengerti... Entah
bagaimana si ibu yang kami doakan yang tadinya tidak bisa bangun dari tempat
tidur (setelah kami doakan dia bisa bangun dari tempat tidur dan bahkan ke
kamar mandi sendiri, hal yang tidak dapat ia lakukan selama 8 bulan terakhir) muncul
di tengah 'sidang' massa dan dia berbicara (pakai bahasa Jawa) intinya dia
ngomong selama saya sakit tidak ada satupun diantara kalian yang menjenguk
saya, sekarang saya bisa sembuh karena mereka doakan kenapa kalian kok malah
mau membunuh mereka? Jadi kalian mau saya mati saja? Tidak usah sembuh? Orang
macam apa kalian ini? Ibu ini berapi-api menjelaskan di depan kepala kampung
dan para pemuda...
Akhirnya, kepala kampung tanya siapa
yang punya ide menggerebek? Lalu mereka mulai main tunjuk-tunjukan satu sama
lainnya dan saling menyalahkan satu sama lain dan mereka pergi sendiri-sendiri
meninggalkan kami yang bengong berpandangan satu sama lain... Hahahahaha...
Padahal kami semua sudah siap...
Keluarga ibu yang kami doakan tadi melepaskan ikatan kami dan kami menyalami
kepala kampung dan pulang kembali ke rumah ibu yang kami doakan... Jam 4 subuh
saat kembali di rumah ibu yang kami doakan mereka sekeluarga sepakat
mengeluarkan kami dari kampung itu,
karena mereka khawatir nanti orang-orang itu kembali lagi dan kembali
menghajar kami, mereka juga khawatir kalau-kalau kami dicegat di tengah
jalan... Demikian ceritanya bro, kenapa kami ada di sana dan kenapa sampai ada
kejadian itu...
Menikah
Pernikahan saya dengan istri saya
juga mempunyai cerita dan tantangan yang luar biasa. Istri saya orang
Betawi-Sunda, sarjana **** dari universitas di Jakarta, seorang murtadin juga.
Beralih kepercayaan tahun 2007, 6 bulan sebelum kami menikah, dia di injili
teman kantornya (orang Batak).
Saya tidak pernah mengajak atau
menginjili dia tetapi keluarganya menuduh saya yang injili dan paksa dia
murtad. Saya dipukuli kakaknya waktu itu, tetapi saya tidak membalas tetapi
mendoakan mereka...
Sekarang, rumah tangga kakak-kakak
istri saya yang memukuli saya dulu, hancur berantakan (kakak-kakaknya tidak
punya anak, sudah menikah 8 dan 7 tahun lamanya), mereka bercerai, sementara
saya, Tuhan mengaruniai kami seorang putra yang pintar dan ganteng … sekarang
berumur 4 tahun (kami menikah Sept 07) kami menamainya ****.
Saya ingat, salah satu hal yang
membuat saya memutuskan menikahi istri saya adalah karena saya melihatnya dalam
mimpi, kami menikah. Perjuangan istri saya juga luar biasa, dia anak perempuan
satu-satunya dari 5 bersaudara. Saat memutuskan murtad dia harus diasingkan
hingga ke pedalaman Pandeglang, kemudian dia harus di jambak-jambak dan kami
tidak berkomunikasi selama 4 bulan.
Di dunia yang semodern tahun 2007,
istriku tidak boleh pegang HP, tidak boleh bersentuhan dengan internet,
kemana-mana harus ditemani (sekembalinya dari pengasingan dari Pandeglang),
tetapi Tuhan itu baik, entah mengapa saya bisa bertemu istri saya di tempat
yang tidak pernah kami datangi. Ceritanya panjang... Lain waktu saya akan
cerita lagi...
Apa yang saya mau tekankan di sini
adalah Tuhan itu adalah Tuhan yang mengetahui bahasa universal... Dia
mengetahui kita manusia yang lemah dan rapuh terhadap dosa, itulah sebabnya Dia
datang dan menjadi pendamai atas dosa-dosa kita, Dia tidak menuntut kita atas
pahala karena pahala dan perbuatan baik tidak bernilai dihadapan Tuhan karena
Tuhanlah yang empunya kebaikan. Kalau kita merasa berpahala dan lebih baik dari
orang lain, maka bukankah kita telah berdosa terhadap Tuhan? karena telah
membandingkan diri kita dengan orang lain. Jika kita merasa kita bisa ke Sorga
karena pahala dan kebaikan itu sama saja dengan kita menyuap Tuhan dengan
nilai... Itu sama saja dengan kita membayar tiket ke Sorga dengan kebaikan dan
pahala kita... Semoga menjadi berkat buat kita semua... God Bless we all...
Saya sadar sesadar-sadarnya bahwa
TUHAN yang saya sembah sekarang adalah TUHAN yang benar. Saya tidak serta merta
menerimanya, teman-teman saya yang murtad juga tidak serta merta menerimaNya
tetapi kami pelajari Dia. Bagaimana kita mengetahui Dia Tuhan dari mempelajari
ajaranNya kita dapat mengetahuiNya... Anda pun dapat melakukannya...
Kumpulan Kisah
Nyata:
Mujizat-Mujizat Di Kenya, Afrika
No comments:
Post a Comment