“Tidak ada satupun korban jiwa, itu
adalah karena campur tangan Tuhan semata-mata”
Bom bunuh diri di GBIS kepunton solo-jawa tengah
Bom bunuh diri di GBIS kepunton solo-jawa tengah
A. Jam 10:45
B. Bom Meledak
C. Mujizat
D. Iman Di Atas Batu Karang
E. We Love, We Forgive
A. Jam 10:45
Minggu 25 September 2011 jam 10:45.
Ibadah baru saja usai. Doa berkat telah selesai disampaikan. Jemaat sedang
berjalan keluar dari dalam gedung Gereja. Pemuji dan pemusik sedang menaikkan
puji-pujian.
Baru saja, Pdt. Sigit Purbandoro dari
Surabaya menyampaikan Firman Tuhan mengenai “Pertolongan Tuhan” yang terambil
dari Mazmur 121:1-8. Semuanya kelihatannya berjalan dengan lancar sepereti
biasanya.
Tiba-tiba terdengar ledakan keras.
Puji-pujian langsung berhenti. Saya berpikir speaker sound system yang meledak.
Saya langsung berlari ke tengah mimbar dan dari atas mimbar terlihat ada asap
putih mengepul dari pintu depan. Asap cukup tebal sehingga pandangan ke luar
pintu tidak terlihat. Saya langsung berpikir “Wah bom!” Langsung saya berlari
seperti melompat dari mimbar ke tempat kejadian.
Pikiran saya cuma satu, “Tuhan jangan
sampai ada korban jiwa dari jemaat” dan kalau ada korban luka, itu yang harus
secepatnya ditolong. Tidak kepikiran kalau ada bom susulan atau hal lain. Hanya
satu perkara yang ada di pikiran “Selamatkan secepatnya yang terluka!”
Pada waktu itu, jemaat
berteriak-teriak panik dan berlarian. Apalagi asap putih cukup tebal menghalangi
pandangan. Bau mesiu menyengat dan darah berceceran di lantai.
Sampai di dekat kejadian, saya
melihat hanya ada seorang yang tergeletak dengan perut hancur. Saya langsung
berpikir, “Itu pasti pelakunya”. Secara sekilas saya tidak menemukan korban
lain yang tergeletak, spontan saya langsung berkata dalam hati, “Syukur Tuhan,
tidak ada korban jiwa jemaat”.
Lalu saya lihat beberapa jemaat yang
terluka. Saya pegang tangan salah satunya dan saya katakan “Kamu pasti
tertolong. Jangan takut! Tuhan melindungimu.” Tapi saya tidak boleh hanya
berkutat di situ. Sekarang, ada beban di pundak saya sebagai gembala untuk
mengendalikan situasi yang kacau dan menenangkan jemaat yang panik. Langsung
saya berteriak “Semuanya keluar lewat pintu samping”. Sekarang, prioritas utama
adalah melarikan korban yang terluka secepat-cepatnya ke rumah sakit. Tidak
usah memanggil ambulan, karena pasti butuh waktu cukup lama. Sedangkan korban,
harus secepatnya dibawa ke rumah sakit.
Terdengar teriakan dari Pdm. Joko
Sembodo yang mengatur keamanan di tempat kejadian perkara. Dia berteriak kepada
petugas parkir di luar “Tutup pintu gerbang cepat!” agar jangan sampai ada
orang luar masuk.
“Bawa semua korban lewat kantor.
Pakai mobil Gereja untuk membawa korban ke rumah sakit” teriak saya. Langsung
beberapa jemaat dengan sigap tanpa rasa takut menggendong para korban ke
kantor. Mereka ini betul-betul orang-orang yang siap melayani seperti Kristus.
Tidak mempedulikan resiko bom ke dua ataupun kengerian yang muncul, mereka
sigap untuk memberikan pertolongan kepada korban-korban yang berjatuhan.
Sayapun segera berlari ke kantor. Di
kantor, saya menyuruh Bapak Yohanes dan Bapak Yulianto untuk mengatur parkir
agar kendaraan di parkir yang tidak berkepentingan bisa langsung cepat keluar.
Begitu kosong, ada dua kendaraan yang siap dipakai, milik Bapak Budi dan Bapak
Gideon. Langsung para korban diangkat dinaikkan ke mobil Bapak Budi. Namun ada
kesulitan untuk menaikkan korban ke mobil Bapak Gideon, karena pintunya
terhalang mobil lain. Tidak menunggu waktu, saya langsung naik ke belakang
setir dan memajukan mobil Bapak Gideon, sehingga pintu bisa terbuka lebar.
Begitu korban dimasukkan, mobil
segera melaju dengan cepat ke Rumah Sakit Dr. Oen. Ada yang sempat bertanya,
“Nanti kalau di tanya siapa yang menanggung dan bertanggungjawab, bagaimana
jawabnya?” Saya langsung berteriak “Gereja yang akan bertanggungjawab untuk
semua biayanya. Yang penting, korban harus segera ditolong!” (Biaya pengobatan
dan rumah sakit ditanggung oleh pemerintah dan oleh pihak Rumah Sakit Dr. Oen).
Dalam waktu kira-kira lima belas menit sejak ledakan, semua korban sudah bisa
sampai ke Rumah Sakit Dr. Oen.
Setelah sebentar membagi tugas di
kantor, saya dan Pdm. Wim Agus Winarno langsung menyusul ke Rumah Sakit Dr.
Oen. Urusan peledakan dan korban tewas biarlah urusan polisi dan orang lain
yang sudah saya serahi tugas untuk itu. Sedangkan tugas saya adalah gembala.
Saya harus berada di dekat domba-domba yang terluka secepatnya.
Di luar, masa yang begitu banyak
sudah memadati jalan di sekitar Gereja, sehingga kendaraan saya sukar untuk
bergerak. Sesampainya di rumah sakit, ruang UGD sudah penuh dengan
korban-korban yang terluka dan keluarganya. Suasana hiruk pikuk. Langsung saya
usahakan untuk mendekati mereka satu per satu. Saya berikan kata-kata kekuatan
dan yang paling penting saya doakan mereka satu per satu. Itulah tugas saya
sebagai gembala.
Korban pertama yang saya jumpai
adalah Bapak Sugiyono dan anaknya Defiana. Secara sepintas mereka kelihatannya
tidak terluka parah, karena mereka masih bisa tersenyum. Namun kemudian saya
baru tahu bahwa luka Defiana cukup parah, di mana ada 3 mur yang bersarang di
tempurung kepalanya. Saya doakan mereka dan saya kuatkan.
Lalu saya jumpai Bapak Go Sing Gwan
yang terluka dibahunya. Sebuah metal besi telah menghantam tulang bahunya
sehingga hancur. Bapak Go Sing Gwan harus menjalani operasi untuk mengganti
tulang bahunya yang hancur dengan sebuah plat.
Dikamar sebelah saya menjumpai Olivia
Putri yang terluka di kakinya. Urat kakinya putus dan dia menangis. Pasti
rasanya sangat menyakitkan sekali dan hati saya turut tersayat melihat gadis
remaja ini menangis kesakitan. Saya pegang tangannya dan saya doakan.
Berlari keluar saya masuk ke kamar di
samping dan di situ saya melihat Noviyanti tergeletak di atas ranjang dengan
kepala yang bercucuran darah begitu banyak. Terlihat sepintas lukanya cukup
parah dan dia hanya diam saja tanpa respon. Hati saya kuatir melihatnya. Tapi
saya meneguhkan iman dan berdoa. Saya bisikkan kata-kata kekuatan dan saya
doakan dia. Luar biasanya, nanti terlihat bahwa pemulihannya begitu cepat dan
dia termasuk yang cepat pulang dari Rumah Sakit.
Septiana saya jumpai sedang terbaring
kesakitan. Benda tajam telah menembus salah satu kakinya sampai berlubang dan
mencucurkan darah. Tidak berhenti sampai di situ, benda tajam itu masih melaju
dan bersarang di kaki yang satunya lagi. Ke dua kakinya terluka parah.
Selanjutnya saya berlari ke kamar
sebelah dan saya melihat Ibu Feriana yang terluka parah, ada pecahan metal yang
menembus dan merobek kandung kemihnya. Pendarahan terjadi dan harus segera
dihentikan sebelum menjadi fatal. Segera dia diprioritaskan untuk menerima
tindakan operasi lebih dahulu untuk menghentikan pendarahan. Dalam operasi itu,
dokter juga harus memotong usus halusnya sebanyak dua cm. ketika didoakan
sebelum masuk ke kamar operasi, dia masih bisa tersenyum sekalipun terluka
parah.
Selesai mendoakan Ibu Feriana, saya
keluar kamar dan di lorong saya menjumpai Ferdianta dan Boris yang terbaring di
ranjang. Luka mereka berada di tangan, perut dan kaki, karena ada paku dan
benda-benda lain yang menancap. Saya doakan dan saya teguhkan iman mereka.
Mereka mengangguk lemah tanda percaya dan saya senang karena mereka tetap kuat.
Saat itu, saya melihat ada korban
yang sedang didorong tergesa-gesa oleh petugas medis ke kamar operasi. Ternyata
dia adalah Bapak Ristiyono yang punggungnya hancur karena ada dua belas paku
yang menancap di punggungnya. Saya tidak sempat mendoakannya secara khusus,
tapi saya berdoa dalam hati agar kemanapun dia dibawa, Tuhan menyertainya.
Dengan setengah berlari, saya masuki
kamar selanjutnya. Di situ terbaring Ibu Yulianti yang sudah berusia tujuh
puluh empat tahun. Dia merasakan sakit di kepalanya yang berdarah-darah dan
berkata dengan suara memelas “Pak, kepalaku sakit sekali. Tolong Pak Yo, ndak
kuat rasanya. Kepala ini sakit sekali!” Saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk
meringankan penderitaannya, kecuali hanya dengan doa. Telinga Ibu Yulianti
telah robek terhantam serpihan benda tajam dan mengucurkan banyak darah. Saya
pegang tangannya dan dia menggenggam tangan saya erat-erat. Saya katakan,
“Tante jangan kuatir. Tante pasti bisa sembuh total. Tetap kuat dan panggil
nama Tuhan Yesus ya Tante.” Dia mengangguk dan saya doakan dia sambil kita ber
dua berpegangan tangan.
Keluar dari kamar itu, saya melihat
korban lain, yaitu Bapak Stefanus yang terbaring di ranjangnya tepat di tengah
ruang UGD. Dia berusaha bangun. Saya tenangkan dia dan saya suruh tidur
kembali. Saya lihat lengannya atas berdarah-darah. Saya pegang tangannya dan
saya doakan dia di tengah-tengah ruangan UGD itu.
Sekalipun jatuh korban tiga puluh
orang terluka, saya masih bisa bersyukur bahwa tidak ada satupun yang meninggal
dunia. Dari tiga puluh orang itu, empat belas harus dirawat inap dan semuanya
harus menjalani operasi. Operasi berlangsung marathon dari hari Minggu jam
14.00 sampai besoknya jam 12.00, selama dua puluh dua jam.
B. Bom Meledak
Jika direnungkan, dalam tragedi 1053
ini ada banyak mujizat dan pertolongan Tuhan. Jika tidak ada satupun korban
jiwa, itu adalah karena campur tangan Tuhan semata-mata. Bukan kebetulan!
Karena di dalam Tuhan Yesus, tidak ada yang kebetulan. Semua terjadi atas
ijinNya.
Sebelum kejadian, berdasarkan rekaman
kamera CCTV, pelaku diperkirakan masuk dari pintu kecil samping pintu utama.
Dengan berbaju putih lengan panjang, celana panjang hitam, bertopi, berkacamata
dan sebuah tas kecil di kalungkan di dadanya, pelaku sempat berjalan ke tengah
dan mendekati tengah ruangan Gereja. Andaikata dia meledakkan bomnya di tengah
ruangan Gereja, pasti ceritanya akan berbeda. Korban yang jatuh pasti akan
lebih banyak.
Tapi entah mengapa (Pasti ada campur
tangan Tuhan), pelaku sempat menoleh ke kanan ke kiri seperti kebingungan.
Kemudian, dia berbalik dan berjalan menuju pintu keluar. Dia melangkah keluar
pintu Gereja dan berdiri di depan pintu agak menyamping ke timur. Di teras
Gereja itulah dia meledakkan bom yang dia bawa tepat pukul 10:53 (sesuai dengan
waktu yang terekam di CCTV), menghamburkan proyektil-proyektil maut berupa
paku, mur, lempengan logam tajam dan lain sebagainya.
Semata-mata pertolongan Tuhan kalau
pelaku itu meledakkan bomnya dengan menghadap ke halaman parkir. Andaikata dia
meledakkan bomnya dengan menghadap ke arah pintu Gereja, di mana jemaat sedang
ramainya keluar melalui pintu itu, maka korban yang berjatuhan akan makin
banyak dan bisa jadi ada yang kehilangan nyawanya.
Lebih ajaib lagi, ketika dia
menyalakan bomnya, posisinya agak berubah, badannya memutar sedikit sehingga
arahnya tepat menghadap ke dua pilar beton. Akibatnya, ketika bom yang menempel
di perutnya meledak menghamburkan serpihan-serpihan, maka sebagian tertahan
oleh dua tiang beton itu. Kalau bukan tangan Tuhan yang memutar tubuhnya
sedikit, maka pasti akan jatuh korban lebih banyak lagi.
Serpihan bom itu ternyata menyebar
kemana-mana dan ada sebuah pecahan pipa yang tajam dan sebesar kepalan tangan,
telah terlontar menembus plafon teras Gereja. Andaikata pecahan itu tidak
dilemparkan oleh Tuhan ke atas dan membabat orang, maka dipastikan orang itu
tidak akan mengalami kesakitan. Tapi dia akan langsung tewas di tempat. Tapi
puji syukur kepada Tuhan. Tuhan sudah melemparkan pecahan yang sangat berbahaya
itu ke atas plafon Gereja, sehingga tidak menimbulkan korban.
C. Mujizat
Satu hal yang saya kuatirkan dan saya
doakan kepada Tuhan, “Jangan sampai ada satupun korban yang meninggal!” Kalau
tidak ada yang kehilangan nyawa (kecuali pelaku), maka itu membuktikan bahwa
tindakan bom bunuh diri itu adalah tindakan yang sia-sia dan tidak mencapai
sasarannya, yaitu untuk mencabut nyawa korban sebanyak-banyaknya. Selamatnya
para korban juga menunjukkan bahwa perlindungan Allah itu dahsyat dan ajaib!
Perlindungan Allah tidak tertembus oleh bom yang bagaimanapun juga.
Oleh sebab itu, ketika diadakan doa
di depan Gereja oleh saudara-saudara kita dari GP Ansor pada Minggu malam,
sayapun ikut di situ. Pada saat itu, saya menerima tiga kabar yang membuat
sesak nafas. Berita pertama yang muncul di sms adalah Defiana setelah operasi
kepala untuk mengambil tiga mur, ternyata mengalami kejang-kejang dan kritis.
Saat saudara-saudara kita dari GP Ansor berdoa, sayapun juga berdoa, “Tuhan
Yesus jangan sampai anakMu ini meninggal. Sembuhkan dan pulihkan dia oleh
karena bilurMu, bukan karena yang lain. Aku mohon mujizatMu Tuhan.”
Belum selesai saya berdoa, masuk sms
ke dua dan disusul yang ke tiga yang mengatakan bahwa kaki dari salah satu
korban yang bernama Hariyoko harus diamputasi karena terbabat obeng yang
terlontar seperti roket. Lalu urat kaki Olivia Putri yang putus harus segera
disambung sebelum dua puluh empat jam. Tapi sampai saat itu belum bisa segera
dilakukan operasi karena ruang operasi penuh. Padahal waktu sudah semakin
sempit.
Kembali saya berdoa agar jangan
sampai ada satupun yang mengalami cacat! Apalagi mereka ini masih remaja dan
masih memiliki perjalanan hidup yang panjang. Jangan sampai mereka kehilangan
masa depannya karena mengalami kecacatan.
Berdoa bersama saudara-saudara kita
dari GP Ansor dan mengingat korban-korban ini, tak terasa air mata ini menetes.
Hanya satu doa yang saya panjatkan terus, “Jangan ada yang meninggal dan jangan
ada yang cacat”, supaya nama Tuhan saja yang dipermuliakan dalam peristiwa ini.
Begitu selesai doa bersama, kira-kira
jam 22.30, saya langsung bergegas ke Rumah Sakit bersama Pdm. Joko Sembodo
untuk menjenguk korban.
Di depan ruang operasi, saya
menjumpai Ibu Hung Me, yang suaminya, Bapak Go Sing Gwan sedang menjalani
operasi karena tulang bahunya hancur. Di depan kamar operasi itu, kita berdoa
bersama-sama memohon anugerahNya.
Lalu saya menuju kamar Olivia Putri
yang harus dioperasi sesegera mungkin karena urat kakinya putus. Dia tertidur
lelap, mungkin karena pengaruh obat bius untuk mengurangi rasa sakitnya. Saya
katakan kepada ibunya, “Jangan kuatir bu. Pertolongan Tuhan tidak pernah
terlambat. Kaki Olivia pasti akan dioperasi tepat pada waktunya.” Akhirnya jam
01.00, Olivia bisa dioperasi kakinya dan tidak terlambat.
Di ruang ICU, ada dua korban, yaitu
Ibu Feriana yang terluka parah. Kandung kemihnya yang pendarahan karena
tertembus logam dan ususnya harus dipotong dua cm. Ketika saya doakan, Ibu
Feriana justru berkata “Saya tetap kuat Pak Yo. Saya tetap cinta Tuhan dan
Tuhan Yesus pasti sembuhkan saya.” Dia juga berpesan, “Pak Yo juga harus kuat.
Tuhan akan pakai Pak Yo.” Saya terkejut dengan ketabahan Ibu Feriana. Saya
betul-betul dikuatkan dan terharu. Di saat menderita dan menjadi korban, Ibu
Feriana betul-betul tabah dan justru masih bisa memberikan kekuatan. Luar
biasa!
Memang Tuhan punya rencana lain untuk
Ibu Feriana. Ketika para dokter mengoperasi untuk menghentikan pendarahannya,
dokter juga menemukan usus buntunya sudah infeksi. Karena itu, usus buntunyapun
ikut diambil. Jadi Ibu Feriana ini juga mendapatkan pelayanan operasi usus buntu,
tanpa biaya. Tuhan yang atur semuanya.
Defianapun juga berada di ruang ICU.
Saya melihat sekarang dia telah bisa tidur tenang, sesudah sore tadi mengalami
kejang-kejang. Saya bersyukur kepada Tuhan karena melihat Tuhan sudah melakukan
mujizatNya.
Mamanya mengatakan bahwa Defiana ini
dalam penderitaannya justru sangat tabah. Dalam keadaan tergeletak dan terluka
parah, dia justru yang mengkuatkan orang tuanya untuk tetap kuat dan bersyukur
kepada Tuhan, “Ma jangan takut. Aku pasti sembuh karena Tuhan Yesus pasti
menolong.” Bahkan saat dia didorong masuk ke kamar operasi, dia menyanyikan
pujian “Dalam nama Yesus! Dalam nama Yesus! Ada kemenangan!” Iman anak remaja
ini betul-betul luar biasa. Dia sangat mencintai Tuhan. Saat sadar, yang
dipikirkan pertama kali justru, bagaimana pelayanannya hari Senin, 3 Oktober
nanti dalam acara Konser Pemuda? Luar biasa! Pada hari Senin, 3 Oktober,
Defiana sudah bisa ikut acara konser pemuda di Gereja, sekalipun dengan kepala
yang masih dibalut dengan perban. Mujizat!
Melihat kondisi Defiana yang cukup
parah, sebuah lembaga sosial keagamaan dari Surabaya menawarkan bantuan dana
dan pertolongan untuk membawa Defiana ke Singapore jika diperlukan. Tapi
rencana Tuhan berbeda. Hari Senin, 3 Oktober, Defiana tidak berada di Singapore
untuk diobati. Tapi pada Hari Senin, 3 Oktober, dia berada di GBIS Kepunton
sedang memuji Tuhan. Haleluya!
Hariyoko yang menurut dokter harus
diamputasi kakinya mengalami mujizat yang luar biasa. Besoknya, dokter berkata
bahwa kakinya tidak jadi diamputasi dan bisa sembuh sempurna. Saya yakin dan
percaya, bahwa malam itu, Tuhan Yesus sudah menyambung semua pembulu darah dan
urat-urat yang terputus, sehingga kakinya bisa diselamatkan. Hariyoko yang
masih muda tidak kehilangan kakinya.
Ayahnya, yaitu Bpk Ristiono adalah
bapak yang punggungnya hancur tertebus dua belas paku tajam. Tapi puji Tuhan,
tidak ada satupun paku itu yang menembus organ vitalnya. Sebelas paku diambil
melalui operasi pertama. Tapi satu paku diambil pada operasi ke dua yang
beresiko tinggi. Paku itu bersarang tepat di antara paru-paru dan hatinya. Jika
paku itu tertancap sedikit bergeser saja, maka akan mengenai paru-paru atau
hatinya dan hasilnya pasti fatal. Tapi karena tangan Tuhan saja, maka paku itu
bisa tepat bersarang di antara dua organ vital itu.
Ibu Yuliati yang berusia tujuh puluh
empat tahun telah terluka di kepalanya. Ada serpihan benda tajam yang melesat
cepat merobek daun telinganya. Telinganya berdarah-darah. Tapi kita bisa
bersyukur kepada Tuhan, karena seandainya benda itu selisih beberapa mili saja
jaraknya, maka pecahan benda tajam itu akan menembus ke kepalanya dan berakibat
fatal. Tangan Tuhan betul-betul menyatakan perlindunganNya.
Para korban bersaksi bahwa sepertinya
ada tameng Ilahi yang melindungi mereka. Pecahan paku, mur boleh menembus
daging, tapi tidak mengenai tulang atau organ penting. Ada tangan Tuhan yang
tak terlihat yang telah menahan semua proyektil-proyektil maut itu.
D. Iman Di Atas Batu Karang
Hal yang paling membahagiakan saya
adalah semua korban yang dirawat ini memiliki iman yang kuat. Mereka menderita,
tapi mereka tidak kecewa kepada Tuhan. Mereka disakiti, tapi mereka tidak
dendam dan mau mengampuni. Ketika mereka ditanya, mereka tetap mencintai Tuhan
Yesus dan akan tetap setia ke Gereja.
Seperti juga Defiana yang saat masih
tergolek justru memikirkan pelayanannya, maka Olivia Putri juga berkata “Aku
akan tetap ke Gereja. Kenapa harus takut?”
Bapak Stefanus dalam keadaan masih
terbaring di tempat tidur bahkan sudah menanyakan, “Pak, Hari Sabtu ada
kebaktian 464 (lansia)? Saya mau datang ibadah.”
Ibu Yulianti yang sudah berusia tujuh
puluh empat tahun, awalnya mengalami trauma dan berkata “Tidak berani ke Gereja
dulu”. Tapi besoknya dia sudah bisa berkata “Sesudah sembuh, saya pasti ke
Gereja lagi. Saya tidak trauma lagi, karena Tuhan Yesus.”
Boris waktu ditanya wartawan tentang
Firman Tuhan saat ibadah, dia menjawab dengan jawaban luar biasa, “Firman Tuhan
tadi berbicara tentang pertolongan Tuhan dan sekarang saya langsung mengalami
pertolongan Tuhan”.
Para korban tidak menolak jiwa
diwawancarai oleh wartawan maupun dikunjungi oleh tamu-tamu penting. Salah
satunya saya tanya, “Kenapa kok mau diwawancarai atau dijenguk oleh tamu-tamu
yang begitu banyak? Apa tidak justru melelahkan?” Dia menjawab “Pak Yo, justru
ini kesempatan buat saya untuk menyaksikan kehebatan Tuhan Yesus. Justru inilah
kesempatan buat saya untuk menunjukkan kepada orang yang belum kenal Tuhan
bahwa saya tidak takut untuk mengiring Tuhan Yesus dan menunjukkan bahwa saya
mengampuni mereka.”
Kuatnya iman mereka, betapa cintanya
mereka kepada Tuhan Yesus, tabahnya hati mereka, semuanya itu membuat saya
semakin kuat. Bukan saya yang mengkuatkan mereka. Tapi merekalah yang justru
telah mengkuatkan saya.
Jika mereka yang menjadi korban saja
bisa begitu kuat dan tidak takut untuk kembali beribadah. Tentunya, kita yang
tidak tergores sedikitpun pasti akan tetap kuat dan setia beribadah kepada
Tuhan Yesus di tempat yang sudah Tuhan tempatkan kita.
Jangan sampai kesetiaan dan iman kita
kalah dengan mereka yang menjadi korban. Biarlah mereka ini menjadi teladan
iman buat kita. Inilah iman yang dibangun di atas fondasi batu karang.
E. We Love, We Forgive
Setelah saya kembali dari Rumah
Sakit, polisi sudah berdatangan mengamankan lokasi. Saya masuk ke dalam Gereja
dan duduk di kursi tidak jauh dari pelaku pembomanan yang tergeletak di lantai.
Saya amati dia cukup lama dan saya mulai merenung, “Haruskah hidupnya berakhir
tragis dan sia-sia seperti ini?” Pada waktu itu, yang muncul di dalam benak
saya bukan kebencian dan dendam. Perasaan yang muncul adalah belas kasihan
kepada dia yang telah salah memilih jalan kehidupan.
Dari situlah inti pesan gembala itu muncul
“Taburkanlah kasih dan pengampunan. Bukan dendam dan kebencian.” We love and we
forgive.
Tidak ada persungutan yang kita
berikan. Tapi ucapan syukur kepada Tuhan yang kita persembahkan. Habis gelap,
terbitlah terang. Setelah musibah, timbulah mujizat. Karena itu, sekalipun di
mata manusia, hal ini merupakan tragedi dan bencana. Tapi dengan mata iman,
saya memandang bahwa tragedi 1053 pasti menjadi MUJIZAT 1053.
Allah turut bekerja dalam segala
perkara untuk mendatangkan kebaikkan bagi orang-orang yang mengasihi Dia. Tidak
ada kemuliaan, tanpa melalui salib. Justru melalui peristiwa ini, dunia telah
melihat bahwa Tuhan Yesus dahsyat dan ajaib.
Pdt. Jonatan Jap Setiawan
Sumber: Kesaksian Pdt.Jonatan Jap
Setiawan, Bom Bunuh Diri Di GBIS Kepunton Solo-Jawa Tengah
Kumpulan
Kisah Nyata:
No comments:
Post a Comment