Saturday, March 7, 2015

Kesaksian Reinhard Boonke bersama keluarga di Jerman

Kesaksian Hidup dari Reinhard Bonnke, buta melihat, lumpuh berjalan, tuli mendengar, berbagai macam jenis penyakit telah di sembuhkan dan lebih luar biasa lagi jutaan jiwa telah di selamatkan oleh Tuhan, melalui hamba-Nya. panggilannya untuk melayani di negara Afrika Selatan, setiap KKR-nya di hadiri jutaan orang. Kesaksian ini akan menceritakan Kisah Reinhard Bonnke dari masa kecil dia dengan keluarga.. Selamat membaca..?

Panggilan menjadi Penginjil
Siapa tak kenal dengan Reinhard Bonnke. Seorang penginjil yang setiap acara KKR-nya dihadiri jutaan orang. Puluhan juta orang pun sudah dibawanya kepada Kristus. Hal ini sejalan dengan tujuan hidup pria kelahiran Jerman ini, yaitu “menjarah neraka untuk melimpahi surga dengan jiwa-jiwa”.

Meski mendapat banyak tantangan berat, ia terus menghidupi tujuan agung itu. Pertobatan diawali pada usia 9 tahun, dan pada tahun 1967 panggilan Allah dalam ladang misi membawanya ke Lesotho, sebuah negara kecil di Afrika Selatan. Allah terus membawanya sampai ia membentuk pelayanaan lembaga misi bernama Christ for all Nations (CfAN). lembaga ini telah mengadakan KKR-KKR di luar negeri, menerbitkan 178 juta buku dalam 140 bahasa, dan melatih para pemipin dalam penginjilan yang dituntun oleh Roh Kudus.

Even Greater adalah salah satu karyanya. Buku ini menceritakan bagaimana orang-orang biasa seperti kita, anda dan saya dipakai Allah untuk secara naratif ini tidak sekedar bertutur tentang mujizat, yang buta melihat, yang lumpuh berjalan, yang tuli mendengar dan sebagainya. Tetapi terutama tentang betapa iman yang bertumbuh mewujud menuju kesejatian saat orang-orang percaya menghadapi berbagai tantangan.

Masa Kecil Reinhard Bonnke
Kami ada enam bersaudara, sebelum mengenal Tuhan, ayah kami adalah seorang prajurit bayaran dalam Angkatan bersenjata Jerman. Ia bertugas sebagai petugas perbekalan di kota pertahanan Hitler yaitu Konigsberd, di Prussia Timur. Selama waktu itu, Hermann Bonnke menderita sakit TBC akut. Dalam keputusasaannya, ia mencari Tuhan dan lahir baru serta di sembuhkan dari penyakit itu pada waktu yang bersamaan.

Saudaraku Jurgen, peter dan saya jarak umurnya berdekatan dan memiliki banyak pengalaman yang serupa. Kami sering mengingat hal-hal yang sama. Dia berumur enam tahun dan saya lima tahun ketika kami sekeluarga terpaksa melarikan diri dari Prussia Timur untuk menyelamatkan nyawa kami. Ayah kami harus tinggal untuk menghalangi Angkatan Bersenjata Rusia yang mulai menguasai daerah itu. Mereka tampaknya sangat ingin membalas dendam kepada semua orang Jerman.

Selamat dari bom dan pergi ke Denmark
Ibuku berdoa dan membaca Alkitab setiap hari untuk meminta tuntunan dan perlindungan bagi kami. Dari Alkitab, beliau menerima kepastian bahwa Allah akan memelihara kami dalam pelarian kami melewati lautan. Kami berangkat dengan menggunakan kapal ke Denmark, namun kapal yang kami mau naik dilaran masuk pada menit-menit terakhir karena kapal tersebut ditembak oleh torpedo dari kapal selam Rusia. Kapalnya tenggelam, membunuh tiga kali lebih banyak penumpang dari korban kapal Titanic. Sekali lagi, nyawa kami terselamatkan, namun bagaimana dengan orang yang telah meninggal? mengapa bukan kami yang mati?

Kapal yang pada akhirnya kami tumpangi juga kemudian di bom dan diserang di tengah jalan. Saya ingat waktu itu saya memanjat ke atas dek dan melihat sebuah pesawat Rusia sedang terbakar dan jatuh dari langit di atas kami. Pada suatu kesempatan , kami terguncang oleh ledakan besar karena kapal kami terkena ranjau. Kapal kami mulai miring ke satu sisi, kemudian anehnya balik kembali ke posisinya semula. Kami terus mengarungi lautan sampai kami mencapai pelabuhan yang aman di Denmark.

Kembali ke Jerman
Empat tahun kemudian kami kembali ke Jerman dan akhirnya dipersatukan kembali dengan Ayah. Saya bersyukur sembilang tahun pada waktu itu. Saat kami memasuki periode pembangunan Jerman kembali, keluarga Bonnke juga mulai kembali sebagai keluarga yang utuh. Kami berdelapan tinggal bersamaan dalam satu kamar di kota kecil Gluckstadt, dekat Hamburg. Rumah tangga kami boleh miskin dalam materi, namun kami kaya dalam Iman.

Ayahku menjadi Pendeta
Ayah kami, setelah dibebaskan dari tugas militer, segera menjadi pendeta sepenuh waktu. Gairahnya untuk mengabarkan injil tidak dibatasi oleh pintu Gereja. Keenam anaknya melihat bagaimana khotbahnya diterapkan dalam keseharian kami. Allah adalah perkara yang dianggap serius dalam rumah kami. Keluarga kami telah diselamatkan waktu kami melarikan diri dari peperangan. Kisah keselamatan itu sering kali diceritakan ulang untuk menanamkan pengenalan akan kuasa dan pemeliharaan Allah dalam diri kami.

Kakakku mulai ragu akan iman mereka
Pada awalnya, semua anak Bonnke menerima warisan kami dalam Tuhan tanpa mempertanyakannya. kami memberi diri sepenuhnya kepada Iman orang tua kami. Namun seiring dengan waktu, Martin, Gerhard, Peter, dan Jurgen mulai mempertanyakan iman yang dianut oleh keluarga kami. Bahkan kisah-kisah penyelamatan itu mulai dipertanyakan. Mereka menemukan cara-cara lain yang lebih masuk akal untuk menjelaskan peristiwa penyelamatan kami di akhir perang dulu. Mereka bilang, itu bukan karya tangan Allah, melainkan untung-untungan, kemujuran, kebetulan, takdir, pokoknya segala sesuatu kecuali Allah. Bahkan kesembuhan Ayah kami dari TBC dapat mereka jelaskan dalam istilah-istilah psikologi dan gejala psikosomatik.

Dengan pertanyaan dan pertanyaan semacam inilah, kakak saya menolak iman dan mulai menyembah intelektual dan ilmu pengetahuan. Mereka bertekad untuk tidak membuat kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh generasi tua. Mereka melihat kepercayaan kami kepada Tuhan sebagai hal yang mudah dimanipulasi, dan mereka dengan keliru berpikir dengan menggunakan kemampuan nalar, mereka akan hidup lebih unggul. Mereka menginvestasikan diri mereka dalam sekolah sementara saya mulai menginvestasikan diri saya dalam gereja ayah kami. Jalan kami sungguh bertolak belakang.

Mendapat panggilan waktu berusia 10 tahun
Saat itu saya berusia sepuluh tahun. Waktu itulah saya menerima panggilan saya sebagai Misionaris ke Afrika. Saat saya memasuki masa remaja, saya sungguh menganggap serius akan panggilan ini. Kakak-kakak saya termasuk Jurgen, sungguh-sungguh berusah menentang saya. Mereka mulai secara terbuka mulai menghina hubungan saya dengan Tuhan.

Berhasil dalam bidang mereka masing-masing
Kakak-kakak saya masuk universitas yang bagus. Mereka membaktikan diri mereka dengan begitu giat bisa menguasai bidang pilihan mereka masing-masing di dunia akademis. Jurgen menjadi seorang Insinyur kimia yang sangat dihormati. Kakak-kakak saya menertawai pilihan saya untuk masuk ke sekolah Alkitab yang menurut mereka adalah rendahan. Mereka semua, termasuk Felicitas yang tetap setia kepada Tuhan, memperoleh gelas sarjana S-3 dalam bidang kedokteran dan ilmu pengetahuan lainnya sementara saya sendiri mengawali karya misionaris saya yang sederhana dengan Anni di Lesotho, Afrika.

Kunjungan ke rumah kakak saya
Rumah Jurgen telah menjadi tempat yang bagi saya paling tidak ingin saya kunjungi. Ia telah menikah dengan seorang wanita yang bekerja sebagai sekretaris, yang menganggap dirinya sendiri sangat pandai. Iman Kristen baginya adalah suatu yang patut siolok-olok dan diserang. Ia tetap bermusuhan dengan Injil. Ketika saya berkunjung, ia biasanya akan menjadi agresif, tanpa henti akan menantang saya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kegagalan dari iman Kristen. Ia menyerang saya begitu rupa sehingga Jurgen menjadi malu sendiri akan istrinya. Saya bisa merasakannya bahwa Jurgen mengasihi saya sebagai adiknya, walaupun ia memandang rendah pelayanan saya. Ia bisa dengan halus menentang saya, namun tidak ingin konflik itu menjadi terlalu sengit.

Ketika mengunjungi rumah Jurgen, dan semua rumah kakak-kakak saya yang lainnya, saya mengambil pendekatan “Jawaban yang lemah lembut merendahkan amarah”. Saya berhenti membicarakan hal-hal yang saya tahu akan membangkitkan emosi mereka. Sebaliknya, saya membicarakan bahan-bahan obrolan yang lebih umum, dan saya menuangkan lebih banyak waktu dan energi saya untuk mendengarkan karena kami semua sama-sama melewati masa kecil yang dipenuhi injil, saya percaya bahwa saya akan memenangkan mereka dengan sikap manis, bukan dengan konfrotasi. Pendekatan ini telah membuahkan hasil.

Reuni Keluarga
Kakak-kakak saya dan saya sendiri, termasuk Jurgen dan istrinya, berkumpul bersama dipertengahan tahun 1980-an untuk suatu reuni keluarga. Setiap hari pada waktu jam makan kami akan duduk disebuah meja panjang dan ngobrol bersama.

Saya kira kakak saya Martin yang memulai obrolan berikut ini. Ia adalah kakak saya yang tertua, dan adalah seorang dokter di bidang kimia. Ia berkata nama Bonnke menjadi terkenal di seluruh koran Jerman karena jasa-jasa saya. Menurutnya, para reporter terbang untuk menghadiri KKR-KKR saya diseluruh Dunia melaporkan kembali ke Jerman mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. Laporan-laporan mereka mencakup beberapa kisah fantastis tentang kesembuhan yang ajaib.

Permusuhan di ganti dengan kasih
Itu merupakan waktu yang indah. Kisah kakak saya telah mencairkan hubungan yang telah lama tegang. Sungguh baik untuk mengetahui bahwa dirinya berusaha mencari cara untuk mengakui pencapaian saya di depan saudara-saudara yang lain.

Namun Martin belum selesai. Ia kemudian berkata bahwa memiliki sebuah pengunguman. Ia berkata bahwa dirinya bersama-sama kakak-kakak saya yang lainnya telah mengevaluasi kehidupan dari semua anak-anak Bonnke. dan mereka semua sepakat menobatkan saya sebagai “kuda terbaik dalam kandang.” Ia dengan segera menambahkan bahwa penghargaan ini hanya didasarkan karena pengaruh saya pada dunia, bukan berdasarkan apakah pengaruh itu bersifat baik atau buruk.

Tetap saja, itu adalah sebuah kemajuan besar. Mereka telah bertahun-tahun mengejek semua hal yang saya kerjakan, namun sekarang mulut mereka sendiri mengakui bahwa saya adalah “kuda terbaik dalam kandang”.

Itu memberi saya pengharapan bahwa pada suatu hari nanti mereka akan mengambil langkah berikutnya dan mengakui bahwa kehidupan saya memiliki pengaruh besar karena Yesus Kristus, dan bukan untuk alasan lain, melainkan supaya mereka sekali lagi menerima ketuhan Yesus dalam Hidup mereka. Dengan sikap seperti itu, saya bisa melihat permusuhan diantara kami telah diganti dengan kasih yang sejati, meskipun kami belum memiliki iman yang sama.

Mendapat Mimpi tentang saudaraku
Pria di atas titian itu tidak memiliki stabilisator, tidak ada tiang penopang yang menahannya untuk tidak bergoyang-goyang. Jembatang yang berbahaya itu terbentang di atas jurang berbatu sangat dalam. Menurut pemikiran saya, ini bukan tempat penyebrangan yang layak. Ini adalah sebuat jembatan maut. Saya takkan pernah mau melewatinya.

Saat itulah saya melihat seorang dungu yang berusaha menyeberang menggunakan jembatan itu. Saya bergegas ke tepi jurang dan melihat ke bawah. Dasar jurang itu tidak terlihat, karena tertutup oleh kabut pagi. Kabut itu bergerak seperti sebuah sungai dalam jurang itu. Saya melihat kembali pria itu. Orang ini telah menunjukan kemajuan yang mengejutkan. Ia hampir sampai di pertengahan jembatan itu, menuju seberang. Dalam hati, saya mendoakan supaya ia baik-baik saja, namun tiba-tiba, awan kabut itu naik ke atas dari bawah lembah. Kabut itu menutupi jembatan persis di depan pria tadi. Ia tidak menyadarinya. Matanya terpaku terhadap kakinya sendiri. Saya tahu bahwa kalau pria itu melangkah dalam kabut, ia akan kehilangan keseimbangannya. Orang ini pasti akan jatuh ke jurang dan mati.

“Pak, berhenti” saya berteriak. “Anda harus berhenti kabutnya ada di depan Anda.” Pria itu berbalik dan memandang saya. Pada momen itu, sebuah rasa sakit menusuk hati saya. Pria itu ternyata adalah saudara saya sendiri, Jurgen. Tanpa memedulikan peringatan saya, ia berbalik dengan cepat, dan menghilang dalam kabut. “Jurgen! Jurgen!” saya berteriak. Beberapa saat kemudian, saya mendengar sebuah teriakan yang makin lama makin menghilang di bawah saya, serayah ia terjatuh. Reinhard!. Saya terbangun. Seprei saya basah karena keringat. Jantung saya terdegup kencang dalam dada saya. Beribu-ribu perasaan terhadap saudara saya bercampur-aduk dalam hati saya dan membuat saya sangat galau. Saya ingin menagis keras-keras untuk Jurgen. Saya tahu bahwa saudara saya ini telah begitu jauh menyimpang dari Yesus.

Membawa mimpi tersebut kepada Tuhan
Saya membawa kasus ini kepada Tuhan: “Tuhan, lihatlah kemajuan yang telah kami capai dengan sikap manis, bukan dengan khotbah-khotbah? Mengapa Engkau sekarang berkata kepada saya, ‘Jika Engkau tidak memperingatkan orang yang tak bertuhan, Aku akan menuntut darahnya dari tanganmu? Apakah saya harus mengkhotbahkan padanya khotbah yang telah dia dengar ribuan kali? Akankah ia akan mempelajari sesuatu yang baru jika saya sekarang memberi tahu dia bahwa dia adalah orang berdosa dan pasti akan masuk neraka? Saya sungguh tidak mengerti.”

Tuhan menjawab saya, tuliskan sebuah surat untuknya dan katakan padanya apa yang engkau lihat dalam mimpimu.”

Saya yakin bahwa ini adalah suara Tuhan. “Saya akan melakukannya,” kata saya. Dan lalu berbalik, dan tidur lagi. Saya menghentikan semua kegiatan saya dan menulit surat itu, mengatakan kepada Jurgen apa yang saya lihat dalam mimpi saya. Saya mengirimkannya. Saya tidak menerima balasannya. Saya melanjutkan kehidupan saya seperti biasa dan lupa tentang hal itu.

Akhir Hidup Jurgen
Kami akhirnya pindah ke Jerman. Anni dan saya mempersiapkan rumah kami yang baru untuk menyambut anak-anak kami yang akan datang berlibur dari universitas mereka. Mereka tiba, dan kami telah menyiapkan makan malam. Baru saja kami duduk untuk makan, saya menerima surat yang di alamatkan kepada saya dari Jurgen. Saya membukanya dan membaca.

Yang terkasih Reinhard, istri saya telah pergi meninggalkan saya. Sahabat karib saya meninggal dunia karena kanker. Saya begitu frustasi sehingga berpikir tidak ingin hidup lama lagi. Saya ingin bunuh diri saja. Namun pada malam hari saya mendapat sebuah mimpi. Saya sedang berjalan di sebuah jembatan. Jembatan itu tidak ada pengangannya dan saya jatuh berteriak waktu terjatuh. Saya bangun berkeringat karena ketakutan. Saya melompat dari tempat tidur dan berkata, “Ya Allah yang Maha Kuasa, Engkau tahu bahwa saya bahkan tidak percaya Engkau. Jika Engkau berbicara kepadaku melalui mimpi ini, berbicaralah juga melalui Reinhard. “Beberapa waktu kemudian, suratmu datang. Mimpimu itu persis seperti yang aku mimpikan. Saya telah memberikan hidup saya kepada Yesus.

Kini, kakak saya Jurgen telah di selamatkan, namun dia juja masih tetap sakit, kemampuan mentalnya hampir-hampir musnah. Ia berbaring di rumah rawat dan harus di perhatikan siang dan malam. Dengan Kesaksian bisa menjadi Berkat buat kisa semua. Gbu

Kumpulan Kisah Nyata:

No comments:

Post a Comment