Keluargaku terlibat judi bola
"Pengusaha kayu," demikian
jawab saya ketika ditanya oleh pendeta mengenai apa pekerjaan saya saat konseling pranikah.
Padahal kalau dia tahu pekerjaan saya
sebenarnya adalah seorang bandar judi, saya tidak bisa membayangkan apa
reaksinya dan apa yang akan terjadi
nanti. Memang sudah sejak SMP saya menggeluti dunia ini.
Hampir seluruh
keluarga saya berkecimpung dalam dunia judi sepak bola. Semua pertandingan sepak bola, mulai dari liga
Inggris sampai liga Italia kami jadikan ajang
judi. Taruhan yang kami bandari mulai dari lima ratus ribu sampai
puluhan juta rupiah. Bisnis bandar
pertaruhan saya berkembang pesat sehingga tahun 1988 saya sudah bisa membuka bandar sendiri. Pertarungan saya
sampai dengan bandar-bandar top di
Jakarta, dengan omzet setiap pertarungan bisa mencapai milyaran.
Saya selalu menang
Kemahiran saya dalam pertaruhan
membuat saya sering kali menang, sehingga membuat saya memiliki uang yang
berlimpah. Uang yang mudah datang mudah juga perginya. Saya menghabiskan uang
itu dengan berfoya-foya dan tinggal di hotel; saya jarang sekali pulang ke
rumah. Seluruh kegiatan judi tersebut -- mulai dari memonitor para petarung,
mencari informasi dan prediksi, sampai transaksi dengan para pelanggan -- dapat
saya lakukan hanya dengan telepon genggam. Walaupun hidup saya bergelimang
uang, namun saya merasa kesepian. Saya mulai berpikir untuk mencari seorang
pasangan hidup. Saya ingin mencari seorang wanita yang bukan dari dunia malam,
tempat saya hidup dan bergaul. Saya ingin mencari seorang wanita dari kalangan
baik-baik, sehingga saya mulai mengurangi kehidupan di dunia malam untuk
berkonsentrasi mencari pasangan hidup.
Saya ketemu seorang wanita
Tahun 1993, saya bertemu dan
berkenalan dengan seorang wanita baik-baik. Dia mengajak saya untuk menghadiri
sebuah acara makan malam suatu kelompok pengusaha yang dipimpin oleh ayahnya
sendiri. Tentu saja saya tidak bisa menolak undangan itu. Semula saya merasa
berada di tempat yang salah. Kumpulan itu bersorak-sorak, bernyanyi-nyanyi,
bertepuk tangan, dan mengangkat tangan mereka. Walaupun begitu, sepulang dari
pertemuan itu, saya merasakan sebuah sukacita yang lain, sukacita yang belum
pernah saya rasakan sebelumnya, yang juga tidak pernah saya temukan di dunia
malam yang bergelimang kesenangan itu. Demi menyenangkan hati calon istri dan
mertua, saya setuju bergabung menjadi anggota perkumpulan itu. Sementara dengan
lihainya saya menyembunyikan identitas pekerjaan saya yang sebenarnya.
Saya menikah
Tahun 1994, kami menikah. Saat
konseling pranikah, saya harus berbohong kepada pendeta dengan mengatakan bahwa
pekerjaan saya adalah pengusaha kayu! Begitu memasuki tahun kedua pernikahan
kami, saya mulai terjun lagi dalam kehidupan judi dan dunia malam. Siang hari
saya menganggur dan saya mengisinya dengan bermain biliar hampir setiap hari.
Istri saya keberatan dengan kegiatan yang saya lakukan tersebut sehingga sering
menimbulkan pertengkaran di antara kami. Tahun 1998, krisis yang melanda
Indonesia juga berdampak besar bagi bisnis pertaruhan saya. Banyak pelanggan
yang mengalami kesulitan keuangan sehingga enggan lagi untuk bertaruh.
Akibatnya, saya mengalami kesulitan untuk membayar hutang-hutang ke bank,
apabila saya tidak dapat membayarnya, maka rumah akan segera disita.
Saya ke gereja
Dalam keadaan terlilit hutang, saya
coba datang ke gereja. Mendengar khotbah di gereja saya bagai disambar petir di
siang bolong. Saya tersentak; saya seperti ditegur langsung oleh Tuhan. Tidak
mungkin mencapai apa yang saya inginkan dalam hidup melalui judi. Saya sadar,
ternyata selama ini saya telah mencobai Tuhan, sesuatu yang saya tahu salah
sejak semula, namun tetap saya lakukan berulang-ulang. Saya renungkan teguran
itu, dan bertekad untuk berhenti dari kehidupan judi. Saya tidak mau lagi
mencobai Tuhan.
Berhenti menjudi
Baru saja berkomitmen mengenai hal
tersebut, mendadak telepon berdering. Ternyata pencobaan pertama datang.
Seorang langganan bertanya mengenai pertaruhan. Saat itu juga dengan tuntunan
Tuhan, saya mengatakan padanya bahwa saya sudah berhenti berjudi sejak hari itu
dan mau melayani Tuhan. Dia terkejut, "Bagaimana mungkin kamu bisa
begitu?" Banyak pengusaha besar menutup usahanya dan beralih menjadi
penjudi karena jauh lebih menguntungkan, tetapi saya yang telah punya jaringan
luas dan nama besar malah ingin berhenti. Dia tidak bisa memercayainya; baginya
itu mustahil, namun itulah yang terjadi. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan,
segala sesuatunya mungkin terjadi bersama dengan-Nya.
Berhenti berjudi otomatis
menghentikan juga pemasukan uang, padahal saya harus membayar hutang-hutang di
bank. Walaupun demikian, ada suatu kekuatan yang membuat saya sungguh yakin
bahwa langkah yang saya ambil untuk berhenti adalah benar. Saya merasakan bahwa
Tuhan sangat dekat sekali dan saya memiliki suatu keyakinan bahwa Dia akan
menyertai dan menyelesaikan segala permasalahan saya.
Tuhan menolong saya
Benar saja, Tuhan menolong kami
dengan ajaib. Suatu hari, Dia menuntun untuk menemukan sebuah toko bernama
"Imanuel" di Pasar Turi agar kami membelinya. Dia menuntun saya dan
istri agar berdagang pakaian di situ. Setelah membuka usaha di situ, walaupun
usaha kami masih tergolong kecil, namun kesibukan dagang itu berangsur-angsur
telah membuat saya melupakan kehidupan hitam saya sebelumnya.
Penghasilan yang kami peroleh dari
berdagang memang masih belum mampu melunasi hutang-hutang bank, namun
penyertaan Tuhan memang luar biasa. Ada seseorang yang menawar rumah kami
dengan harga yang sangat bagus. Bahkan, ia berani menukarkan dengan rumahnya
sendiri yang bagus di sebuah lingkungan elit dan dia masih memberikan kami
tambahan uang sebanyak tiga ratus juta rupiah! Akhirnya, dari uang itu kami
bisa membayar hutang-hutang bank, bahkan sisanya masih cukup kami gunakan untuk
menambah modal berdagang. Hidup di dalam Tuhan Yesus adalah sebuah kepastian,
bukan seperti kehidupan judi seperti yang pernah saya lakukan.
Sumber majalah SUARA, Edisi 77, Tahun
2005
No comments:
Post a Comment